KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gejolak ekonomi global dan domestik mulai terasa dampaknya ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Hal ini terlihat dari surplus APBN pada kuartal pertama 2024 yang menunjukkan surplus tipis yakni sebesar Rp 8,1 triliun atau setara 0,04% Produk Domestik Bruto (PDB). Tercatat, penerimaan negara hanya terkumpul Rp 620,01 triliun atau menyusut 4,1% year on year (YoY). Sebaliknya, realisasi belanja negara mencapai Rp 611,9 triliun atau tumbuh 18% YoY.
Konsekuensi penerimaan negara yang rendah ini akan mempengaruhi semakin bertambahnya utang untuk membiayai kebutuhan belanja ke depan. Berdasarkan catatan Kemenkeu, posisi utang pemerintah hingga 31 Maret 2024 tercatat Rp 8.262,1 triliun. Secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut berkurang Rp 57,12 triliun atau menurun sekitar 0,68% dibandingkan posisi utang pada akhir Februari 2024 yang sebesar Rp 8.319,22 triliun. Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,79%. Pemerintah sering menyebut bahwa rasio utang Indonesia sering kali dikatakan aman lantaran masih di bawah batas aman 60%. Namun tampaknya, pemerintah meski berhati-hati lantaran besarnya utang seharusnya perlu dikaitkan dengan kemampuan pemerintah dalam memperoleh penerimaan. Artinya, meski utang diklaim tidak terlalu besar namun apabila tingkat pendapatannya rendah maka tetap harus diwaspadai.
Baca Juga: Rasio Utang Indonesia Diprediksi Meningkat Jadi 40% di 2025, Begini Kata Kemenkeu Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wahyu Utomo menegaskan, meski pendapatan negara terkontraksi dan belanja tumbuh tinggi berdasarkan realisasi per Maret 2024, namun APBN masih mengalami surplus yang menandakan bahwa rsiko tetap terkendali. "Namun APBN masih surplus artinya risiko tetap terkendali dan peran APBN sebagai shock absorber tetap berjalan efektif untuk stabilisasi ekonomi dan melindungi daya beli," ujar Wahyu kepada Kontan.co.id, Rabu (8/5). Dalam laporan APBN KITA, utang pemerintah didominasi instrumen Surat Berharga Negara (SBN) yang kontribusinya sebesar 88,05%. Hingga akhir Maret 2024, penerbitan SBN tercatat sebesar Rp 7.274,95 triliun. Selain itu, utang pemerintah tersebut ada kontribusi 11,95% dari utang pinjaman pemerintah hingga akhir Maret 2024 yang sebesar Rp 987,15 triliun. Pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif. Per akhir Maret 2024, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun. Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga mewaspadai kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) atau BI rate sebesar 25 basis poin (bps) yang akan mempengaruhi kinerja fiskal, khususnya yang terkait dengan imbal hasil (yield) utang yang harus dibayarkan pemerintah. Untuk itu, pemerintah akan terus melakukan pengelolaan secara hati-hati. "Tentu dari Kementerian Keuangan untuk strategi pembiayaan dengan cost of fund dan nilai tukar yang cenderung mengalami kenaikan. Kami akan terus melakukan pengelolaan secara prudent," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers KSSK, belum lama ini.
Baca Juga: Kemenkeu Pastikan Dampak Pelemahan Nilai Tukar Rupiah Terhadap APBN Masih Terkendali Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Riko Amir menegaskan bahwa pemerintah akan senantiasa mengupayakan pembayaran bunga utang secara tepat jumlah dan tepat waktu sebagai upaya mitigasi dari risiko gagal bayar. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah telah merencanakan dengan baik kebutuhan pembayaran bunga utang baik dari sisi waktu maupun besarannya, termasuk pada tahun anggaran 2024 ini. "Dalam upaya pengendalian bunga utang, pengadaan utang baru dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan dan likuiditas kas negara untuk memperoleh trade off biaya dan risiko yang optimal," kata Riko kepada Kontan.co.id, Rabu (8/5). Selanjutnya, pemerintah selalu melakukan monitoring pelaksanaan APBN secara terus-menerus sepanjang tahun, baik dari sisi pendapatan, belanja maupun pembiayaan, termasuk dampak dari dinamika perekonomian global maupun domestik. Riko menyampaikan, sampai dengan saat ini kinerja pelaksanaan APBN masih menunjukkan perkembangan yang baik dengan realisasi pendapatan, belanja dan pembiayaan tahun anggaran 2024 yang masih on track. "Kinerja APBN yang masih cukup baik dan kondisi kas negara yang masih cukup ample diperkirakan mampu mengamankan kewajiban pembayaran bunga utang tahun 2024," imbuhnya. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menilai, surplus APBN yang lebih tipis pada kuartal I-2024 ini dikarenakan pertumbuhan penerimaan negara yang lebih rendah dibandingkan kenaikan belanja imbas dari penurunan harga komoditas. Menurutnya, apabila penurunan harga komoditas tersebut masih berlanjut maka pertumbuhan penerimaan negara akan melemah. "Dengan postur seperti ini diperkirakan sampai dengan akhir 2024, pemerintah akan melakukan penambahan utang karena defisit fiskal akan diperkirakan meningkat," kata Sunarsip, Kamis (9/5). Namun, menurutnya, penambahan utang tersebut baru akan dilakukan setelah Oktober 2024. Selain dikarenakan menunggu pemerintah baru, pemerintah juga tampaknya melihat situasi pasar keuangan global saat ini yang kurang kondusif untuk melakukan penerbitan surat utang baru. Kondisi keuangan global yang kurang kondusif tersebut antara lain nilai tukar rupiah yang belum stabil akibat penguatan dolar AS, tingginya suku bunga dan inflasi yang cenderung masih relatif tinggi.
Baca Juga: Surplus Neraca Perdagangan Naik Pada Maret 2024, di Tengah Ketidakpastian Global Ekonom Center of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah memproyeksikan penerimaan pajak pada tahun ini melambat dibandingkan tahun lalu lantaran penurunan harga komoditas serta perekonomian global yang juga melambat. Pada saat yang bersamaan, belanja negara mengalami kenaikan dikarenakan adanya kebutuhan belanja penyelenggaraan pemilu serta pos bantuan sosial (bansos) yang juga meningkat pada tahun ini. "Dengan konfigurasi tersebut maka pembiayaan utang memang tidak bisa dihindari akibat penambahan beban belanja yang tidak bisa diakomodasi dari peningkatan pos penerimaan," kata Yusuf. Menurutnya, pelebaran defisit fiskal pada tahun ini juga akan ditentukan oleh proses transisi pemerintahan baru, misalnya kebutuhan pendanaan untuk membiayai program-program pemerintahan selanjutnya. "Jika proses transisi fiskal ini mulai dijalankan di tahun ini maka disitulah peluang penambahan anggaran beban belanja," terangnya. Sayangnya, penambahan anggaran belanja untuk mendanai beberapa program pemerintahan baru tersebut belum bisa diakomodasi dengan peningkatan serapan pos penerimaan sehingga kondisi tersebut turut mendorong kenaikan pembiayaan melalui utang.
Yusuf mengingatkan, pemerintah perlu berhati-hati ketika ingin memulai proses transisi kebijakan fiskal pemerintahanan baru lantaran penambahan jumlah utang dilakukan pada saat tren suku bunga tinggi sedang terjadi. "Tentu ini akan menjadi tambahan beban terutama dalam penyelenggaraan fiskal jangka menengah hingga panjang," imbuh Yusuf. Untuk diketahui, realisasi pembiayaan atau penarikan utang pemerintah hingga 31 Maret 2024 mencapai Rp 104,7 triliun atau 16,1% terhadap APBN 2024. Penarikan utang tersebut dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 104 triliun dan pinjaman Rp 600 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat