""Gejolak rupiah selalu dari pasar obligasi" (Chatib Basri, Pengamat Ekonomi)



Chatib Basri, Pengamat Ekonomi

Rupiah benar-benar babak belur menghadapi dollar AS. Sedikit lagi, nilai tukar rupiah menembus level Rp 14.000 per dollar AS.

Bank Indonesia (BI) sejatinya tidak berdiam diri. Meski berulang kali melakukan intervensi pasar, rupiah belum mau menjauh dari posisi Rp 13.800–Rp 13.900 per dollar AS.  


Sebetulnya, apa yang membuat mata uang garuda terus-terusan melemah? Lalu, BI dan pemerintah mesti melakukan langkah apa? Pengamat Ekonomi Chatib Basri memberikan analisisnya kepada Wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo dalam sebuah wawancara di Jakarta, Rabu (2/5) lalu.  Berikut nukilannya:  

KONTAN: Apakah nilai tukar rupiah yang anjlok saat ini sudah mengkhawatirkan? CHATIB: Kalau ditanya, apakah anjloknya nilai tukar rupiah mempunyai dampak atau tidak? Tentu saja tidak, ini kondisi yang sangat wajar. Karena juga terjadi di seluruh mata uang. Saya tidak melihat ada yang perlu dikhawatirkan.

Tapi, saya bisa berbicara seperti ini secara rasional. Persoalannya, pasar kan belum tentu rasional. Dalam ilmu ekonomi, ada yang disebut animal spirit. Itu seperti saat di tempat keramaian, ada seseorang yang berteriak ada api dan lari, maka orang-orang di kerumunan itu juga akan ikutan lari.  

KONTAN: Seperti apa gambaran kepanikan pasar? CHATIB: Gerakan gejolak dari rupiah selalu dimulai dari bond market, karena 40% pemegang obligasi kita adalah investor asing. Kalau return bond di Amerika Serikat menarik dan tekanan terhadap rupiah mulai mereda, begitu rupiah melemah karena mereka pegang dalam bentuk rupiah, maka supaya tidak terlalu dalam ruginya, mereka jual bond. Lalu, mereka konversi ke dollar AS sehingga rupiah semakin melemah.

Makin lemah rupiah, makin banyak lagi obligasi yang mereka jual. Inilah yang disebut capital outflow. Ini yang menjelaskan, kenapa rupiah melemah tajam. Begitu juga di pasar modal.

Namun, kenapa pasar modal tidak terlalu jatuh, karena pemain lokal cukup kuat. Berbeda di bond market. Beberapa bond holders melepas obligasi mereka, nilai tukar rupiah bisa langsung terpengaruh.

KONTAN: Kan, BI juga melakukan intervensi pasar. Apakah ini enggak cukup? CHATIB: Apakah selamanya BI bisa di pasar untuk intervensi? Cadangan devisa kita sekitar US$ 130 miliar, saya kurang tahu berapa yang sudah keluar untuk intervensi.

Mungkin bisa US$ 4 miliar–US$ 6 miliar dalam sebulan, itu kan sekitar 5%. Berapa lama BI bisa menjalankan itu. Market juga mikir, berapa lama BI seperti itu.

Dalam enam bulan rupiah bisa melemah terus dan berapa lama BI bisa bertahan. Makanya, harus ada kombinasi dari kebijakan reform. Kalau bahasa BI, itu adalah bauran.

KONTAN: Apa yang harus BI dan pemerintah lakukan agar pasar tidak panik? CHATIB: BI dan pemerintah harus menghindar dari tindakan-tindakan yang membuat market panik. Situasi ini bisa semakin parah kalau ada kebijakan-kebijakan dari pemerintah dan BI yang tidak sesuai dengan pandangan pasar.

Misalnya, market selalu minta economy reform. Lihat saja, saat Presiden Joko Widodo menghilangkan subsidi Premium tahun 2014, semua investor tepuk tangan. Kemudian, saat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati konsolidasi fiskal, semuanya tepuk tangan.

Buntutnya, Standard & Poor’s (S&P) menaikkan rating kita. Maka yang terjadi, uang masuk ke Indonesia karena market melihat ada reformasi. Namun sebaliknya, saat tidak ada reformasi, uang akan keluar.

KONTAN: Saat ini, ada kebijakan pemerintah yang tidak diinginkan oleh pasar? CHATIB: Mari kita lihat, apakah ada gejala Indonesia tidak menjalankan reformasi yang diinginkan pasar. Sayangnya, saat ini ada. Barang yang dulu harganya tidak dikontrol pemerintah, sekarang dikontrol.

Contohnya, Pertamax dan Pertalite. Dulu, harganya tidak dikontrol, diserahkan ke mekanisme pasar. Sekarang, pemerintah mengontrol harga kedua jenis bahan bakar minyak itu.

Tentu, market akan bertanya, kalau satu barang sudah dikontrol pemerintah, siapa yang jamin barang lain tidak dikontrol juga. Pasar pun melihat masa lalu saat semen dikontrol sehingga harganya turun.

Saat pemerintah menentukan harga semen turun, maka para pemegang saham perusahaan semen, kan menjadi rugi. Mereka membuang sahamnya.

Contoh lain, saat pemerintah berencana menurunkan tarif tol untuk angkutan logistik. Di agrikultur juga terjadi, ada harga eceran tertinggi (HET). Kalau bisnis tiba-tiba harganya diturunkan, ini kan jadi rugi.

Dan, ini terjadi di beberapa sektor dan bisa menimbulkan kepanikan karena menganggap reformasi itu sebuah backtracking (kemunduran).

Sejumlah media asing sampai bilang, untuk menghadapi inflasi, Jokowi lebih memilih kebijakan populis dan reformasi ekonomi sebagai pilihan kedua. Ini investor asing melihatnya, tidak ada harapan lagi untuk reformasi. Dan, menengok kondisi Amerika, maka mereka akan keluar dari Indonesia. 

Buat pasar, yang ditakutkan adalah price control dari pemerintah. Karena apa, pelaku pasar punya pengalaman buruk dengan Venezuela dan negara-negara di Eropa Timur.

Memang, Indonesia tidak sama dengan Venezuela. Tapi masalahnya, asing tidak semuanya mengerti Indonesia. Kalau melihat ada price control, maka bisa dianggap seperti Venezuela, mereka bisa tarik uangnya. Begitu ada pemain yang besar yang narik, bisa membuat pasar panik yang disebut animal spirit tadi. Pasar panik dan membuat rupiah kian anjlok.

KONTAN: Presiden Jokowi harus mengontrol harga untuk merebut hati rakyat karena tahun depan maju lagi dalam pemilihan presiden? CHATIB: Menurut saya, menjaga harga Pertamax dan Pertalite, dampaknya tidak banyak, walau saya bukan orang politik. Kalau untuk menjangkau orang miskin, kasihlah bantuan seperti lewat program Bantuan Langsung Tunai (BLT).

KONTAN: Memang, keluhan investor asing soal kebijakan pemerintah yang mengontrol harga benar-benar ada? CHATIB: Saya sering traveling ke sejumlah acara ekonomi di luar negeri, dan mereka bertanya, mengapa ada price control. Saya bilang, ini kan kebijakan politik dan menunggu pemilu.

Tapi mereka tak mengerti dan tak ada jaminan kebijakan itu kelak dihapus. Mereka juga bertanya, kok sekarang di Indonesia semua berbalik. Mau mengarah ke mana. Saya cuma bilang, ini sementara. Mereka tetap menganggap situasi itu tak pasti.

Asing juga khawatir dengan utang badan usaha milik negara (BUMN). Contoh, utang Pertamina. Karena harga BBM tidak boleh naik, maka Pertamina harus utang.

Makanya, S&P juga mengeluarkan catatan hati-hati terhadap utang BUMN. Pasar akan melihat ada risiko, maka bisa berbahaya dan akan keluar dari Indonesia. Peringkat investment grade jadi penting,  bisa memberikan pesan.

Sebab saat ini, negara kita tidak punya kemewahan untuk membuat orang jangan ragu dengan Indonesia. Padahal, kita sempat dipuji saat ada reformasi, seperti investasi dipermudah termasuk soal proyek infrastruktur.

Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, juga sudah bicara soal itu. BUMN terlalu banyak mengambil proyek infrastruktur. Akibatnya, utang BUMN semakin banyak. Ini harus dibatasi. Risikonya jadi terlalu besar. Artinya, harus ada orang lain yang ikut ambil proyek.

KONTAN: Balik ke rupiah, titik fundamental nilai tukar rupiah di angka berapa? CHATIB: Saya tidak tahu titik fundamentalnya. Ada teorinya memang, namun dalam praktiknya tidak pernah cocok. Saya tidak pernah percaya hitungan itu. Karena persoalannya, di bond market, pemainnya terbatas. Saat ada pemain besar yang lepas obligasi, maka rupiah bisa jatuh. Pasarnya, kan, tipis.

Jadi, yang harus BI dan pemerintah lakukan adalah membuat investor asing di obligasi tenang, supaya tidak keluar. Beda dengan Singapura yang kedalaman pasarnya cukup kuat. Kalau ada yang keluar, tidak akan terpengaruh banyak.

Pasar kan berekspektasi suku bunga acuan BI naik. Makanya, pasar agak tenang saat kemarin BI mengatakan, bukan tidak mungkin akan menaikkan suku bunga acuan. Ini yang saya katakan, bisa menenangkan pasar. Karena pasar finansial butuh arahan, kasih sinyal.

Itu sebabnya, begitu BI bilang akan ada di pasar lalu ada kemungkinan menaikkan suku bunga acuan, pasar agak tenang karena sesuai ekspektasi. Ini yang seharusnya dilakukan pemerintah juga. Pasar berpikir, antisipasinya sudah sesuai.

KONTAN: Memang, kalau yield obligasi naik bisa untuk menarik investor asing? CHATIB: Mesti dilihat dari sudut jangka pendek dan jangka panjang. Pasar akan tetap melihat dulu kebijakan-kebijakan pemerintah dan BI, baru memutuskan masuk.

KONTAN: Dengan nilai tukar yang nyaris menembus Rp 14.000 per dollar AS, apakah kondisi makro ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi guncangan rupiah? CHATIB: Kondisi kita masih kuat. Persoalannya ada di ekspektasi pasar. Contoh, tahun 2013, pertumbuhan ekonomi kita 6,5%, inflasi di bawah 10%, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 23%.

Tiba-tiba, karena defisit transaksi neraca berjalan kita tinggi, mencapai 4,4%, pasar panik. Dan terjadilah di negara yang ketika itu namanya fragile five.

Kala itu, pemerintah harus melakukan kebijakan reformasi. Makanya, saya yang waktu itu menteri keuangan memutuskan menaikkan harga BBM hingga 40%.

BI juga mengerek suku bunga acuan. Pasar pun jadi tenang. Dalam waktu enam bulan, Indonesia bisa keluar dari fragile five. Memang ada cost-nya saat itu, pertumbuhan ekonomi kita melambat. Tapi, ini pilihan. Masalahnya, setiap rupiah anjlok, pertanyaan yang muncul, apakah kita akan kembali ke krisis tahun 1998.

KONTAN: Untuk menenangkan pasar, berapa kenaikan suku bungan acuan? CHATIB: Kalau bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga 25 basis poin, maka BI juga harus menaikkan 25 basis poin. Sebenarnya, kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin tidak terlalu tinggi, kok.           

◆ Biodata Chatib Basri

Riwayat pendidikan: ■     Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia   ■     Magister Australia National University ■     PhD Australia National University

Riwayat pekerjaan: ■     Peneliti LPEM Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ■     Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia     ■     Anggota Komite Penanaman Modal Bidang Ekonomi Badan Koordinasi dan Penanaman Modal ■    Staf Khusus Menteri Keuangan ■     Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 ■     Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional ■     Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal ■     Menteri Keuangan

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 7-13 Mei 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Gejolak Rupiah Selalu dari Pasar Obligasi"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga