Gelagat S&P tak kerek peringkat RI



JAKARTA. Naga-naganya, masih sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan kenaikan peringkat (rating) investasi dari Standard and Poor's (S&P). Ada gelagat S&P masih enggan menaikkan peringkat Indonesia.

Dari conference summary S&P yang didapat KONTAN, lembaga ini masih berat menaikkan rating Indonesia lantaran beberapa faktor. Pertama, meski mulai konsisten, masih perlu kajian lebih lanjut atas keseimbangan fiskal. Kedua, pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia masih lambat.

Ketiga, di sektor perbankan, ada kekhawatiran atas memburuknya kualitas kredit bank akibat utang debitur yang tinggi dan harga komoditas rendah. Sisi lain, utang dollar AS korporasi tinggi.


S&P juga menyoroti penurunan keuntungan korporasi dalam jangka panjang. Pasalnya, biaya utang di Indonesia tertinggi dibanding dengan negara selevel. Di Indonesia, biaya utang mencapai 3%, di negara-negara ASEAN rata-rata cuma 0,2%-1,2%. Selain itu, tren keuntungan bank di Indonesia juga terus turun.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani acap menilai, tak ada alasan bagi S&P untuk tak mengerek peringkat utang Indonesia pada Mei nanti. Perbaikan fiskal dan reformasi struktural sudah dilakukan.

Secara fundamental, pengamat ekonomi juga yakin kenaikan rating dari S&P. Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Rangga Cipta bilang, harusnya rating

S&P naik, meski peluangnya belum 10%. "Peluangnya sudah lebih besar melihat perbaikan fundamental perekonomian Indonesia setahun terakhir," ujarnya, Kamis (30/3).

Rangga bilang, ada beberapa hal yang patut ditimbang. Pertama, secara struktur, fiskal sudah lebih baik. Ini terlihat dari proporsi belanja infrastruktur yang lebih besar dibanding belanja subsidi non produktif. Pengaruh harga komoditas yang terlanjur tinggi ke APBN juga membuat defisit melebar sejak 2011.

Kedua, pertumbuhan ekonomi mulai pulih seiring pulihnya harga komoditas. Pencapaian pertumbuhan di 2016 lebih baik dibanding 2015. Di saat sama, defisit transaksi berjalan menipis akibat surplus dagang melebar.

Ketiga, pendapatan per kapita memang relatif rendah dibanding negara lain di kawasan, tapi masih tumbuh positif. Komposisi kelas menengah yang lebih banyak seharusnya menunjukkan daya beli yang kuat dan merata.

Ekonom Maybank Juniman menambahkan, sebenarnya, ada perbaikan di semua bidang. Tapi, proses perbaikan ekonomi butuh waktu, misal reformasi pajak, pembangunan infrastruktur. Meski telah mengantongi peringkat positif dari Moody dan Fitch, peringkat S&P masih dibutuhkan. "Terutama bagi investor konservatif semisal dari Jepang," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini