Gelombang PHK Intai Industri Garmen, Tekstil dan Alas Kaki, Ini Kata Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ribuan buruh pabrik garmen, tekstil, hingga alas kaki dikabarkan menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak akhir tahun lalu hingga saat ini. Turunnya pemesanan dari pasar ekspor membuat produksi juga ikut turun. Adapun kejadian PHK tersebut banyak menimpa pabrik di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Menurut catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), PT Kaban dan PT Prosmatex di Jawa Tengah melakukan PHK terhadap 3.000 karyawan, PT Duniatex dan PT Agungtex PHK 5.000 karyawan. Di Bandung, PT Adetex dan PT Binacitra Kharisma Lestari (industri garmen) melakukan layoff kepada 2.000 karyawan.

Menanggapi gelombang PHK tersebut, pengamat industri pertekstilan sekaligus mantan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, fenomena PHK yang terjadi akhir-akhir ini adalah imbas dari penurunan order yang selama ini terjadi mulai sejak pertengahan tahun 2022 sampai saat ini.


Menurutnya, pemicu PHk adalah akumulasi dari penurunan order, bisa jadi penurunan order dari dalam negeri atau luar negeri. Penurunan order dari dalam negeri untuk produk lokal dipicu banyaknya produk impor pakaian dan tekstil dari luar.

Baca Juga: Gelombang PHK Industri Tekstil dan Alas Kaki Berlanjut, Begini Respons Asosiasi

"Ini mendesak dan menghimpit produsen lokal kita. Produk impor tersebut menggerus dan mengambilalih pasar domestik," kata Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (7/6).

Rizal menerangkan, untuk pangsa pasar ekspor lebih karena kondisi market internasional yang belum stabil dan dipengaruhi juga kondisi belum membaiknya hubungan antara Rusia - Ukraina, sehingga ekonomi internasional belum pulih sepenuhnya.

"Sebagai industri, mereka memerlukan rasionalisasi untuk mengurangi beban atau kerugian yang makin besar dengan PHK," ujar dia.

Rizal menilai, yang perlu dibenahi adalah bagaimana perlindungan pasar di dalam negeri dari produk impor baik yang legal dan ilegal. Sebab, seharusnya pasar di dalam negeri dinikmati oleh produsen di dalam negeri, sehingga 270 juta penduduk Indonesia dominan memakai produk tekstil di dalam negeri.

"Untuk ekspor, lebih baik mencoba untuk penetrasi ke pasar-pasar nonkonvensional atau pasar baru yang selama ini belum banyak tergali dan dimasuki oleh  produk-produk dari Indonesia, terutama mengoptimalkan perjanjian perdagangan dengan negara-negara lain," pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi