Gelombang protes mengalir menolak kebijakan tarif Trump



KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Asosiasi dagang di Amerika Serikat (AS) membentuk aliansi untuk memprotes kebijakan tarif yang dikeluarkan oleh Presiden AS Donald Trump.

Beberapa kelompok perdagangan paling berpengaruh di negara tersebut, termasuk Kamar Dagang AS dengan cepat mengutuk tarif tersebut.

Empat puluh asosiasi perdagangan yang mewakili berbagai industri, termasuk otomotif, dirgantara, minyak serta makanan dan minuman, pekan ini membentuk sebuah organisasi payung, yang disebut Aliansi untuk Perdagangan Baja dan Aluminium untuk menentang tarif.


Sebelumnya, Trump berargumen bahwa impor baja dan aluminium mengancam keamanan nasional dengan memukul industri yang menjadi andalan militer.

Namun, Ketua Dewan Perdagangan Luar Negeri, Rufus Xersa, yang akhirnya membentuk aliansi antitarif, mengungkapkan, sejauh yang dilihat, ada banyak pembenaran yang digunakan oleh pemerintahan Trump untuk memuluskan jalan menuju kebijakan tarif.

Mengutip Wall Street Journal, beberapa aliansi yang terbentuk Jumat (9/3) ini sedang menimbang berbagai opsi terkait upaya menggugat dan membatalkan kebijakan tarif Trump.

Namun, beberapa opsi yang dipertimbangkan ini nampaknya tidak akan berhasil, mengingat Trump sudah mengamankan setidaknya satu "pintu", yakni kongres.

Meski, akhirnya kongres dan parlemen mengkritik keputusan Trump, tapi upaya tersebut tidak akan memberi dampak besar dan Trump tetap mengeksekusi kebijakan dengan penandatangan dekrit hari Jumat kemarin.

Ahli hukum Niaga dari Universitas Havard, Mark Wu mengungkapkan, meski jika aliansi-aliansi yang terbentuk untuk melawan Trump ini hendak menggugat sang Presiden di Mahkamah Agung atau Supreme Court, tetap upaya tersebut akan dimentahkan oleh supreme court.

Pasalnya, suppreme court cenderung setuju dengan presiden manapun yang menjabat di Gedung Putih, manakala kebijakan yang diambil memiliki dasar untuk mengamankan kepentingan nasional. Wu mengungkapkan pendapat ini berkaca dari kejadian Januari 2018 lalu, saat Supreme Court menyatakan bahwa keputusan Trump memberlakukan travel-ban untuk negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim adalah kebijakan legal.

Upaya lobi ke kongres pun juga sepertinya sia-sia, sebab kongres telah mendelegasikan kewenangannya terkait perdagangan luar negeri kepada Trump. Untuk soal ini, boleh dikata Trump memang lihai, sebab ia menggunakan Undang-Undang Perluasan Dagang No. 1962 saat berargumen dengan kongres. Alhasil, wewenang perdagangan sepenuhnya di tangan Presiden.

Dua opsi yang tersisa adalah, menggugat kebijakan tersebut di pengadilan perdagangan internasional yang berbasis di New York serta menggugat lewat organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). Namun, lagi-lagi kepada Wall Street Journal, Wu mengatakan, dua opsi ini tetap sulit mewujudkan keinginan aliansi-aliansi penentang Trump.

Sebab, pengadilan perdagangan internasional sama seperti Suppreme Court yang condong menyetujui presiden apabila kebijakan yang diambil berlandaskan atas niat "melindungi kepentingan nasional".

Sementara, lewat jalur WTO memang paling memungkinkan, namun WTO biasanya memakan waktu yang lama untuk menyelesaikan gugatan seperti ini. Soal ini Wu berkaca dari kebijakan George W. Bush yang dimentahkan oleh WTO tahun 2003 silam. Kala itu, butuh setahun bagi WTO untuk menyatakan kebijakan tarif Bush merupakan kebijakan ilegal. Itu pun sudah dibarengi dengan perang dagang yang sempat terjadi antara AS dan negara-negara Eropa.

Editor: Yudho Winarto