Gempuran Produk Ilegal dari China Bikin Mati Industri dalam Negeri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) menegaskan gempuran impor tekstil ilegal utamanya dari China sudah mulai meresahkan. 

Bahkan, Kemenkop UKM menyatakan terdapat berbedaan data yang tercatat secara resmi antara catatan ekspor dari China ke Indonesia, dan cacatan impor milik data BPS. 

Plt. Deputi Bidang UKM Kemenkop UKM, Temmy Setya Permana mengatakan produk impor yang tidak tercatat itu membuat produk UMKM dalam negeri sulit bersaing.


"Produk tersebut masuk tanpa dikenakan bea masuk, sehingga bisa dijual dengan harga yang murah," kata Temmy dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (13/8). 

Baca Juga: Jokowi Ajak Jajarannya Berbelanja Produk Lokal, Gara-Gara PMI Manufaktur Anjlok

Mengutip data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), pada 2021 nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp 58,1 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp 28,4 triliun. Ada potensi nilai yang tidak tercatat sebesar Rp 29,7 triliun.

Kemudian pada 2022, nilai ekspor China ke Indonesia tercatat sebesar Rp 61,3 triliun, sedangkan nilai impor Indonesia dari China sebesar Rp 31,8 triliun. Potensi nilai impor yang tidak tercatat sebesar Rp 29,5 triliun.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Kemenkop UKM Fiki Satari juga mengatakan produk UMKM secara kualitas saat ini sudah semakin banyak yang tak kalah dengan produk buatan luar negeri.

Sayangnya, karena masifnya produk impor ilegal yang masuk ke pasar lokal, produk berkualitas yang diproduksi oleh UMKM menjadi kalah harga. 

"Pelaku UMKM kelimpungan digempur dari darat, udara sampai di perbatasan-perbatasan," katanya.

Fiki menjelaskan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sudah mengingatkan bahaya ini sejak 2021 lalu. Produk asing ditransaksikan melalui e-commerce cross border bisa langsung masuk ke berbagai pelosok tanah air dengan harga yang murah.

Di lain pihak, pelaku UMKM juga sedang dihadapkan pada ancaman berupa aplikasi marketplace bernama Temu dari China. Aplikasi ini disebut-sebut lebih dahsyat dampaknya bagi UMKM lantaran pabrik dari China bisa bertransaksi langsung dengan konsumen.

Untuk itu Fiki berharap Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta stakeholder terkait bersinergi mencegah masuknya marketplace Temu ke Indonesia. Hal ini diperlukan semata-mata demi melindungi pelaku usaha di dalam negeri khususnya UMKM.

"Importir harus dapat dipastikan patuh terhadap regulasi dengan membayar bea masuk barang impor. Adanya jaminan penegakan hukum serta aturan terkait impor, maka pelaku UMKM dalam negeri dipastikan dapat bersaing," jelasnya.

Impor ilegal juga sudah lama disuarakan oleh industri pertekstilan nasional. Pasalnya fenomena ini telah menjadi salah satu penyebab utama badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan sejumlah perusahaan dalam dua tahun terakhir. 

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta meminta impor ilegal ini segara diatasi untuk kembali menggairahkan industri lokal. 

Redma juga meminta pemberantasanya dilakukan secara menyeluruh termasuk memberi tindakan hukum yang tegas pada para oknum di Bea Cukai yang dianggap memuluskan banjirnya impor ilegal. 

"Kita bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau dipelabuhan,” jelas Redma dalam siaran pers yang diterima Kontan, Kamis (20/6).

Baca Juga: Tantangan Tol Probowangi, Dilema Antara Perlindungan Satwa dan Kepentingan Ekonomi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati