JAKARTA. Penyerapan belanja yang masih rendah tak menyurutkan minat pemerintah untuk terus mencetak utang. Padahal, utang yang menganggur karena tak dipakai justru hanya membuat pemerintah terbebani dengan biaya dana yang harus dibayar. Hingga Maret 2015 realisasi belanja negara baru Rp Rp 367,06 triliun atau 18,5% dari pagu anggaran yang mencapai Rp 1.984,1 triliun. Padahal, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemkeu), realiasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) per 31 Maret 2015 mencapai Rp 144,39 triliun atau 48,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang sebesar Rp 297,7 triliun. Ini artinya, dalam tiga bulan pertama, realisasi penarikan utang sudah hampir separuh dari target. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun lalu relisasi penerbitan SBN Rp 205,1 triliun atau 57,9% dari pagu anggarannya.
Meski begitu, pemerintah masih juga berencana memburu utang dari pasar internasional. Setidaknya, tahun ini pemerintah berencana untuk segera menerbitkan Samurai Bond dan Global Bond. Pemerintah memang belum menentukan target indikatif penerbitan global bond. Yang jelas, baru-baru ini pemerintah melakukan
road show untuk menjajaki minat investor di Amerika Serikat. Sedangkan penerbitan utang lewat Samurai Bond, pemerintah hanya memastikan nominal yang akan diterbitkan tahun ini lebih tinggi dari penerbitan sebelumnya yang sebesar 60 miliar Yen. Tapi, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, realisasi penarikan utang yang besar pada triwulan I ini sejalan dengan strategi
front loading. Menurutnya, strategi
front loading ini tetap dijalankan meski penyerapan belanja masih rendah. Pasalnya, kata Bambang, pertimbangan pemerintah dalam menarik pembiayaan dengan strategi
front loading bukanlah realisasi belanja, melainkan untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga Amerika Serikat pada semester II-2015. "Kalau kita cari uang dari pasar itu sebaiknya dilakukan sebelum kenaikan suku bunga Amerika," ujarnya, Selasa (21/4). Karenanya, Bambang mengakui pemerintah tidak takut dengan realisasi utang yang tinggi ini. Soal penyerapan anggaran, Kemkeu optimis kondisinya akan membaik. Direktur Jnderal Anggaran Askolani sebelumnya bilang, serapan belanja akan lebih optimal mulai Mei 2015. Catatan saja, pada tahun lalu pembiayaan utang berlebih dan tidak diimbangi dengan serapan belanja yang optimal sehingga pemerintah kebanjiran Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) hingga Rp 19 triliun. Sudah tepat Ekonom Bank Permata Josua Pardede bilang, strategi
front loading yang dilakukan pemerintah ini sudah tepat untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat yang sudah pasti terjadi pada tahun ini. Menurutnya, efek kenaikan suku bunga AS pada negara berkembang seperti Indoensia tak bisa diprediksi, sehingga akan lebih baik bila pemerintah mendulang utang lebih awal dari biasanya. Jika suku bunga negeri Paman Sam naik, kata Josua, imbasnya
yield atau imbal hasil juga akan naik. Menurut Josua, persoalannya saat ini adalah bagaimana pemerintah mengoptimalisasi penyerapan anggaran. "Kemkeu harus berikan
reward dan punishment bagi kementerian/lembaga," terang Josua. Josua bilang, masalah penyerapan anggaran ini bukan hal sepele. Bila realisasi belanja pemerintah rendah, maka persepsi investor asing bisa menurun karena besarnya dana alokasi dari penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) premium itu tidak dapat direalisasikan.
Akibatnya,
outlook rating Indonesia bisa turun dan potensi kenaikan rating bisa tertutup. Investor akan melihat pertumbuhan Indonesia tidak bisa bergerak meskipun anggaran sudah tersedia. Di sisi lain, indikasi serapan kementerian/lembaga yang minim juga bisa menimbulkan persepsi adanya korupsi. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai anggaran pemerintah tahun ini berpotensi menuai masalah. Penerimaan pajak rendah, sedangkan realisasi belanja akan meningkat meskipun tidak maksimal 100%. Ini menyebabkan defisit anggaran berpotensi membengkak. Pilihan yang tersedia bagi pemerintah ada dua, yaitu menambah utang baru atau mengurangi belanja. Menambah utang baru di tengah kondisi sekarang ini akan sulit karena kondisi global yang mengkhawatirkan. "Sehingga lebih baik pemerintah mengurangi belanja daripada menambah utang," paparnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie