KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Amerika Serikat (AS) dan China telah memutuskan untuk melakukan gencatan senjata atas pertikaian dagang keduanya. Atas kesepakatan tersebut, untuk sementara, Amerika Serikat mempertahankan tarif pada impor China senilai US$ 200 miliar pada level 10% hingga awal tahun baru dan setuju untuk tidak menaikkannya menjadi 25%. Sementara, China pun setuju untuk membeli produk pertanian, energi, industri, dan lainnya dari Amerika Serikat.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Pieter Abdullah mengatakan, adanya kesepakatan antara kedua negara ini berdampak positif bagi Indonesia, khususnya bagi kinerja ekspor Indonesia. Pasalnya, Indonesia adalah supply chain produk-produk China dan Amerika Serikat dan merupakan tujuan ekspor utama Indonesia. "Dengan penundaan ini setidaknya ekspor Indonesia ke dua negara tidak lebih buruk dari saat ini," tutur Pieter kepada Kontan.co.id, Senin (3/12). Meski China meningkatkan impornya dari Amerika Serikat, Pieter pun berpendapat hal tersebut tak menjadi penghalang impor Indonesia ke China. Menurutnya, produk pertanian yang ditawarkan Indonesia berbeda dengan produk yang ditawarkan Amerika Serikat. "Saya menduga itu lebih ke komoditas kedelai di mana saat ini stok di AS sudah menumpuk menjelang panen raya berikutnya. Trump saya yakin dapat tekanan dari konstituennya. Sementara china memang importir kedelai terbesar dunia," terang Pieter. Tak hanya bagi kinerja ekspor, penundaan peningkatan tarif ini menambah sentimen positif terhadap rupiah yang masih menunjukkan tren menguat. Pieter mengatakan, meredanya perang dagang dan adanya keputusan The Fed menahan suku bunga akan mendorong derasnya aliran modal asing ke Indonesia sekaligus melanjutkan penguatan rupiah. Dengan begitu, hingga akhir tahun tidak ada gejolak global yang akan menekan rupiah.
Meski kesepakatan kedua negara ini positif untuk menahan eskalasi, namun belum tentu menghentikan perang dagang yang berlangsung. Pasalnya, tarif yang sebelumnya telah ditetapkan tetap berlangsung. Bila dalam 90 hari ke depan tidak ada negosiasi yang menguntungkan Amerika Serikat, Pieter berpendapat, tarif 10% untuk barang ekspor China yangg bernilai US$ 200 miliar akan dinaikkan menjadi 25%. Bahkan sisanya US$ 267 miliar juga akan dikenakan tarif yang sama. "Dugaan saya kedua negara akan memanfaatkan kesempatan ini sebab sejatinya keduanya dirugikan dengan kebijakan yang ditetapkan," ujar Pieter. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto