Generasi kedua raja sawit dan hutan



Di industri perkebunan dan manufaktur, Grup Royal Golden Eagle (RGE), dulu bernama Raja Garuda Mas (RGM), merupakan pemain besar. Lini bisnisnya menggurita mulai dari migas, sawit, kertas dan lain-lain.

Bisnisnya merentang dari Indonesia di Asia Tenggara hingga ke China, Brasil, dan Kanada di Amerika Selatan. Di balik nama besar grup usaha ini ada kerja keras Sukanto Tanoto yang merintis berdirinya RGE sejak 1972.

Sukanto merupakan ayah dari Anderson Tanoto yang kini mulai disiapkan buat meneruskan perusahaan keluarga ini.


Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, Anderson menjadi saksi hidup perjuangan sang ayah di dalam membangun kerajaan bisnis ini.  "Bapak saya pengusaha yang sangat visioner, pikirannya jauh ke depan," kata Anderson kepada KONTAN, belum lama ini.

Perjalanan hidup Sukanto Tanoto penuh liku-liku. Sebagai anak orang biasa, pria kelahiran Belawan, Medan, Sumatra Utara ini benar-benar merintis bisnis dari nol. Menurut Anderson, ayahnya memiliki jiwa kewirausahaan menonjol.

Bukan saja pekerja keras, ia juga mengerti apa yang harus dilakukan dan dikerjakan serta berani mengambil risiko. "Dia juga berani ambil risiko," kata pria 24 tahun ini.

Sukanto memulai kiprah bisnisnya sejak 1972, saat ia mendirikan perusahaan kayu lapis bernama CV Karya Pelita di Medan. Boleh dibilang Sukanto pionir di industri ini. Waktu itu, kayu lapis impor dari Singapura menghilang di pasaran.

Sementara di dalam negeri, industri kayu lapis belum begitu dikenal. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan potensi kayu. Setahun berselang nama perusahaan diubahnya menjadi PT Raja Garuda Mas.

Sejak itu, kesuksesan terus mendekatinya. Berbekal naluri bisnis yang tajam, ia pun merambah berbagai sektor usaha lain, seperti sawit, kehutanan, pulp dan kertas hingga energi.

Lewat PT Inti Indosawit Subur, Sukanto membangun usaha perkebunan sawit tahun 1980. Saat itu luas kebun sawitnya sudah 8.000 hektare dengan 2.000 karyawan.

Tahun yang sama, Sukanto mendirikan Pec-Tech, perusahaan yang awalnya mendukung kebutuhan RGE di jasa konstruksi, rekayasa, dan pengadaan logistik. Pec-Tech juga menggarap proyek infrastruktur, energi, minyak, dan gas di China dan Brasil. Contohnya, pembangkit 1.600 megawatt di Xiamen, China.

Di sektor kehutanan, Sukanto sempat mendirikan PT Inti Indorayon Utama. Perusahaan yang mulai beroperasi April 1989 ini bergerak di bidang reforestation dengan menghasilkan paper, pulp dan rayon, serta memasok bibit pohon pembuat pulp di dalam negeri.

Tetapi, usaha ini tidak bertahan lama karena ditentang masyarakat sekitar, sehingga berujung penutupan perusahaan pada Juni 1998. Masyarakat menuding limbah industri telah mencemari kawasan Danau Toba.

Namun, Maret 2003, Indorayon kembali diizinkan beroperasi. Namanya berganti menjadi PT Toba Pulp Lestari. Belajar dari kesalahan, ia lalu membangun industri sejenis di Riau dengan pendekatan berbeda.

Di Riau, ia mendirikan APRIL yang terdiri dari PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Riau Andalan Kertas, dan PT Riau Prima Energi. Selain pabrik pulp and paper, perusahaan ini juga membangun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Agar tak mengulangi kesalahan seperti sebelumnya, kali ini Tanoto menggandeng masyarakat sekitar. "Bapak saya mengembangkan strategi 3C, yakni good community, country, dan company," kata Anderson.

Ia mengakui, kesuksesan yang diraih ayahnya saat ini tak lepas dari peran serta masyarakat sekitar. "Mimpi beliau adalah berkembang dengan masyarakat," ujarnya.

Didirikan tahun 1992 di bawah konglomerasi RGE, konsesi luas HTI RAPP saat ini sudah 450.000 hektare (ha). Fasilitas produksi RAPP berlokasi di Kerinci, Riau.

Hingga saat ini kapasitas produksi tahunan RAPP mencapai 2,8 juta ton untuk bleached hardwood kraft pulp (BHKP) dan 850.000 ton untuk kertas. Usaha RAPP terintegrasi, mulai dari kehutanan hingga manufaktur. "Ini pabrik pulp dan kertas terintegrasi terbesar di dunia," jela Anderson.

Pada 1989 Sukanto mendirikan Asian Agri. Pada 2012 lalu, induk usaha ini mengelola 160.000 hektare kebun sawit dengan kebun inti seluas 100.000 ha.  

Generasi kedua

Setelah lebih dari 40 tahun berkiprah di dunia bisnis, akhirnya Sukanto berencana mewariskan kerajaan bisnisnya kepada generasi kedua. Sejak Maret 2013, Anderson resmi bergabung di perusahaan keluarga ini.

Menurut Anderson, keputusannya bergabung di perusahaan yang dirintisnya ayahnya ini merupakan hasil diskusi keluarga. "Itu joint decision, keputusan yang kita ambil bersama," katanya.

Anderson sendiri memilih berkarir di RAPP. Kendati perusahaan milik bapaknya, ia tidak diangkat begitu saja menjadi orang nomor satu di RAPP. Di perusahaan ini ia memulai karirnya sebagai asisten manajer. "Sekarang jabatan saya manajer untuk fiber," jelasnya.

Meskipun statusnya cukup istimewa, sang ayah memang menginginkannya bekerja di lapangan dan mulai dari bawah. Kendati tidak bisa langsung meraih posisi empuk, ia mengaku menikmati posisinya sekarang.  

Menurut Anderson, bekerja memang harus dari bawah agar mengerti persoalan di lapangan. Baginya, ketika berkarir langsung berada di top manajemen kemungkinan keputusan yang diambil bakal banyak yang keliru. "Makanya saya komitmen untuk belajar semua dari bawah," ujarnya.

Anderson sendiri sudah menempa dirinya menjadi seorang profesional. Sebelum bergabung di perusahaan keluarga, ia sudah menyiapkan mental bisnis dengan melanjutkan pendidikan di University of Pennsylvania, Amerika Serikat.

Di universitas ini, ia menempuh pendidikan di bidang bisnis sesuai dengan dunia yang akan digelutinya. Lulus kuliah tahun 2011, ia menimba pengalaman di sebuah perusahaan konsultan Bain & Company SE Asia yang berpusat di Singapura. Ia bekerja di perusahaan ini selama dua tahun.

Anderson mengaku, banyak mendapat pengalaman berharga selama bergabung di perusahaan konsultan ini. Di antaranya membantunya berpikir sistematis dan membangun team work yang solid. Dua tahun kemudian, baru ia mengabdi di perusahaan keluarga.

Menurut Anderson, dengan bekal pendidikan dan pengalaman itu tidak sulit baginya untuk terjun ke dunia bisnis. Apalagi dirinya sudah mulai dikenalkan dengan perusahaan ayahnya itu sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD).

"Dari kecil kami sudah banyak turun ke lapangan bersama bapak dan ibu saya. Saya sering diajak ke RAPP di Kerinci ini," kenangnya.

Anderson tahu, saat itu sang ayah ingin mengenalkan dirinya dengan perusahaan sejak dini. Makanya, ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Setiap ada kesempatan itu selalu diisinya dengan belajar, mendengar, serta berinteraksi dengan karyawan.

Kendati sudah menimba cukup ilmu dan pengalaman di tempat lain, Anderson tetap menempatkan diri sebagai karyawan biasa di perusahaan keluarga. Ia mengaku, tetap merangkul semua karyawan yag lebih senior untuk mendengar masukan dari mereka.

Anderson juga mengaku lebih mengedepankan transparansi dalam mengelola bisnis. Tujuannya agar masyarakat mengetahui bagaimana mereka mengelola perusahaan.

Ekspansi

Kendati usianya masih sangat muda, namun pengetahuan Anderson tentang bisnis orang tuanya cukup mendalam. Dia paham soal beluk beluk industri pulp dan kertas di pasar global.

Menurutnya, pulp dan kertas sedang mengalami banyak tantangan. Selama setahun terakhir ada kecenderung pertumbuhan kapasitas produksi pulp dan kertas dengan kebutuhan tidak seimbang. Di Brazil ada tambahan kapasitas produksi baru sebanyak 2 juta ton.

Sementara pertumbuhan konsumsi hanya 0,8% atau 1 juta ton. Kondisi ini membuat harga pulp anjlok di pasaran dunia. Setahun ini, harga pulp turun dari US$ 650 per ton menjadi US$ 550 per ton.

Anderson pun tak tinggal diam menyikapi kondisi ini. Ia melihat perlunya melakukan pengembangan ke arah produk turunan pulp di luar kertas. Salah satunya dengan memproduksi cellulose yang dipakai untuk chemical aplikasi. "Itu seperti kulit sosis itu dari cellulose, itu kami perlu gali lagi," ujarnya.

Anderson bilang, sekarang RAPP masih mengkaji kemungkinan itu karena juga perlu investasi tambahan. Dari segi teknologi diperlukan mesin baru buat memproduksi cellulose. "Sekarang lagi kerjasama dengan Brasil untuk mencari sampel. Kayu di sini dibawa ke Brasil bisa enggak," jelasnya.

Rencananya, proyek hilirisasi ini tetap akan dipusatkan di Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. Dari segi kapasitas produksi, pabrik di Kerinci memang paling paling besar dibandingkan pabrik di China atau Brazil.

Dia juga lancar membahas perkembangan bisnis Pacific Oil and Gas, perusahaan migas milik ayahnya. Menurutnya, aksi terbaru Pacific Oil and Gas adalah menyiapkan ekspansi di Kanada untuk membangun pemrosesan LNG di dekat British Columbia. "Investasi yang disiapkan mencapai US$ 2 miliar," katanya.

Pacific Oil and Gas sengaja membidik Kanada karena di negara itu sedang kelebihan pasokan gas. Saat ini proyek tersebut sedang memasuki tahap pengurusan izin ke pemerintah setempat.

Ia menargetkan, proyek tersebut mulai konstruksi pada 2017. Untuk lahannya sendiri sudah siap. Rencananya, LNG receiving terminal ini dipasarkan ke Jepang, China, dan Korea.         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri