Geopolitik Korut belum pengaruh ke suplai baja



KONTAN.CO.ID - Korea Selatan merupakan salah satu importir penting bahan baku industri baja tanah air. Dengan kondisi geopolitik di kawasan tersebut yang sedang memanas menyebabkan pelaku usaha baja Indonesia harus berhati-hati terhadap potensi berkurangnya suplai bahan baku.

“Kalau kaitannya dengan kondisi saat ini pengaruhnya kepada pasokan saya belum bisa jelaskan, tapi pasokan dari Korea sangat penting bagi industri baja,” ujar Rhea Sianipar, Direktur Pelaksana asosiasi Indonesia Zinc Allumunium Steel Industry (IZASi) kepada KONTAN, Senin (11/9).

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan Januari-Mei 2017, impor besi dan baja Indonesia mencapai nilai US$ 3 miliar. Jumlah tersebut naik 31% dibandingkan periode sama tahun lalu yang, US$ 2,34 miliar. Sedangkan sampai dengan 2016, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor besi dan baja dari Korea Selatan tercatat senilai US$ 325 juta.


Salah satu produsen baja lapis dalam negeri, PT Saranacentral Bajatama Tbk (BAJA) juga memperoleh bahan baku dari Korea Selatan. “Sekitar 10% dari total kebutuhan bahan baku kami,” sebut Handaja, Direktur Utama BAJA. BAJA membutuhkan bahan baku baja lapis, yakni baja canai dingin (CRC) sebanyak 10.000 ton setiap bulan.

Handaja tidak terlalu risau terhadap kondisi Geopolitik di Korea terhadap bisnisnya di Indonesia. "Saat ini bisnis belum terganggu," ujarnya. 

Saat ini harga produk baja lapis mengalami kenaikan di kisaran 15%-20%. Hal ini disebabkan oleh harga CRC yang tengah melambung. “China menahan produksinya, akibatnya pasokan di pasar jadi berkurang,” katanya.

Soal ketersedian pasokan, BAJA tidak ambil pusing. “Saat ini kami bisa datangkan dari India, tapi sebagian besar pasokan justru masih dari lokal,” tukas Handaja.

BAJA memproyeksikan pertumbuhan pendapatan sampai akhir tahun ini bisa mencapai 20% dibanding tahun lalu. Sedangkan target produksi di kuartal IV 2017 digenjot maksimal mencapai 12.000 ton per bulan. Saat ini total kapasitas produksi BAJA sebanyak 200.000 ton per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini