Gereja di Gaza Nyalakan Pohon Natal untuk Pertama Kali dalam Dua Tahun Perang



KONTAN.CO.ID - GAZA CITY. Gereja Holy Family (Keluarga Kudus) di Gaza menyalakan pohon Natal untuk pertama kalinya setelah dua tahun perang genosida Israel di Jalur Gaza.

Pada malam Misa Malam Natal, para jemaat memadati ruang doa utama. Banyak di antara mereka merasakan kegembiraan dan keharuan, bukan hanya karena Natal, tetapi karena mereka masih bertahan hidup.

Cahaya lampu pada pohon Natal besar dan berbagai dekorasi liburan tak mampu sepenuhnya menutupi kenyataan pahit yang ditinggalkan perang di Gaza. Pihak gereja memutuskan membatasi perayaan hanya pada ibadah doa dan pertemuan keluarga singkat.


Namun, dentang lonceng gereja yang bergema keras sudah cukup untuk membangkitkan rasa sukacita di tengah keterbatasan.

Baca Juga: Pesan Natal Raja Charles, Soroti Persatuan dan Keberagaman

Salah satu jemaat yang merasakan momen tersebut adalah Dmitri Boulos (58), yang selama perang tak dapat merayakan Natal. Ia mengungsi bersama istri dan dua anaknya sejak hari-hari awal pertempuran, setelah pengeboman Israel menghantam area sekitar rumahnya di Tal al-Hawa, selatan Gaza City.

“Kami melarikan diri ke gereja untuk mencari perlindungan, tetapi ternyata tidak ada tempat yang benar-benar aman,” ujar Boulos. “Gereja ini diserang dua kali saat kami berada di dalamnya, dan kami kehilangan teman serta orang-orang tercinta pada masa itu.”

“Tidak ada yang terasa,” kenangnya.

“Ketakutan dan duka begitu besar atas mereka yang kami kehilangan. Bagaimana mungkin kami merayakan ketika segala sesuatu di sekitar kami terluka dan penuh kesedihan?” ujarnya.

Boulos berharap Natal kali ini dan tahun baru mendatang dapat mengakhiri seluruh penderitaan serta membuka blokade dan pembatasan terhadap Gaza.

“Kami berusaha membuat diri kami dan anak-anak merasa bahwa yang akan datang akan lebih baik, meskipun kenyataannya sangat berat,” katanya.

“Kami berharap keadaan bisa kembali seperti sebelumnya,” tambahnya.

Simbol Keteguhan Umat Kristiani Gaza

Gereja Holy Family, satu-satunya paroki Katolik di Gaza memiliki makna simbolik yang melampaui wilayah tersebut. Sepanjang perang, mendiang Paus Fransiskus rutin menelepon paroki ini, hampir setiap hari, menjaga komunikasi langsung dengan komunitas yang terkepung.

Sebagian besar umat Kristen Palestina tinggal di Tepi Barat yang diduduki dan Yerusalem Timur, dengan jumlah sekitar 47.000–50.000 orang, sementara sebelum perang terdapat sekitar 1.000 umat Kristen di Gaza.

Jumlah umat Kristen di Gaza terus menyusut dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini, hanya tersisa beberapa ratus orang turun drastis dari sekitar 3.000 orang yang terdaftar pada 2007.

Baca Juga: Paus Leo XIV Kecam Kondisi Kemanusiaan di Gaza dalam Khotbah Natal Perdana

Selama perang, serangan Israel juga menargetkan sejumlah tempat ibadah Kristen yang menjadi lokasi pengungsian warga Palestina.

Meski Gereja Holy Family tidak termasuk dalam zona pengusiran yang ditetapkan Israel, gereja-gereja lain di Gaza City termasuk Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius dan Gereja Anglikan St Philip masuk dalam wilayah tersebut.

Sekitar 550 pengungsi yang berlindung di Gereja Holy Family masih menyimpan ketidakpercayaan terhadap militer Israel. Gereja ini telah beberapa kali diserang, meskipun Israel menyatakan tidak menargetkan tempat ibadah.

Banyak dari mereka masih mengalami trauma dan berupaya membangun kembali secuil kehidupan normal.

“Hati saya masih berat oleh tragedi dan kelelahan yang kami alami selama perang,” kata Nowzand Terzi kepada Al Jazeera, sambil berdiri di halaman gereja tanpa ikut berbaur dengan jemaat.

“Kami mengungsi ke sini di tengah bombardir dua tahun lalu. Saya kehilangan rumah akibat serangan Israel, lalu kehilangan putri saya yang tiba-tiba sakit tahun lalu dan meninggal dunia,” ujarnya dengan suara bergetar mengenang putrinya yang berusia 27 tahun—yang tak sempat tiba di rumah sakit akibat perang.

“Semoga Tuhan menolong mereka yang kehilangan orang-orang tercinta, dan semoga kondisi di Jalur Gaza menjadi lebih tenang,” katanya, mendoakan perdamaian dan keselamatan bagi semua.

Krisis Kemanusiaan Masih Membayangi Gaza

Harapan itu menggema di seluruh Jalur Gaza, di mana hampir dua juta orang masih menghadapi serangan Israel yang berlanjut, pelanggaran gencatan senjata, kekurangan pangan, obat-obatan, tempat tinggal, serta layanan dasar.

Baca Juga: Malam Natal di Mar-a-Lago, Trump dan Melania Ikut Program “Sinterklas” NORAD

Menurut Government Media Office Gaza, lebih dari 288.000 keluarga menghadapi krisis tempat tinggal akibat pembatasan Israel terhadap pasokan kemanusiaan yang semakin memperburuk kondisi para pengungsi.

Data PBB menunjukkan lebih dari 80% bangunan di Gaza rusak atau hancur selama perang, memicu gelombang pengungsian besar-besaran.

Edward Sabah (18), meski masih muda, telah merasakan pahitnya perang dan pengungsian. Ia terpaksa meninggalkan rumahnya dan berlindung di Gereja Saint Porphyrius di lingkungan Zeitoun, Gaza City timur. Gereja itu dibom pada 19 Oktober 2023 dalam serangan Israel yang menewaskan 18 orang.

“Kami sedang berkumpul di halaman gereja, berbincang seperti biasa dengan para pengungsi lain, ketika tiba-tiba ledakan besar menghantam salah satu bangunan gereja,” kenang Sabah.

“Kami tidak pernah menyangka gereja akan menjadi sasaran, tetapi itulah yang terjadi. Selama perang, hal-hal tak terduga terjadi di mana-mana,” katanya. Ia dan keluarganya selamat, lalu berpindah ke gereja lain dan tinggal di sana selama satu setengah tahun.

“Dalam dua Natal terakhir, kami berusaha menciptakan suasana, tetapi rasanya sangat sedih,” ujarnya.

Meski demikian, ia tetap menyimpan harapan dan tekad untuk melanjutkan hidup.

“Tahun ini tekanannya lebih ringan, tetapi kami masih takut akan apa yang mungkin terjadi. Meski begitu, kami menghias gereja dan mencoba menciptakan suasana gembira,” katanya, seraya berharap dapat menyelesaikan pendidikan SMA.

Natal di Tengah Luka, Harapan Tetap Menyala

Natal kali ini membawa kebahagiaan dan rasa lega bagi banyak umat Kristen di Gaza dan wilayah Palestina lainnya. Banyak warga Palestina menegaskan rasa memiliki dan keterikatan mereka pada tanah air, meski dilanda penderitaan, tragedi, dan perang berkepanjangan.

Itulah sebabnya Janet Massadm (32) memutuskan menata rambut dan mengenakan pakaian baru untuk merayakan Natal untuk pertama kalinya dalam dua tahun.

Baca Juga: Khotbah Natal Paus Leo: Menolak Membantu Orang Miskin Berarti Menolak Tuhan

“Kami lelah oleh duka, kehilangan, pengungsian, dan ketakutan yang telah merenggut begitu banyak dari hidup kami,” kata Massadm dengan emosional.

“Di dalam hati, saya benar-benar kelelahan oleh apa yang kami saksikan,” tambahnya. “Namun apa yang bisa kami lakukan? Kami harus berusaha menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan.”

Seperti banyak umat Kristen lainnya di Gaza, Massadm mengungsi bersama keluarga orang tua, saudara laki-laki, dan saudara perempuannya ke gereja setelah melarikan diri dari bombardir di kawasan Remal, Gaza City tengah.

“Saya berharap perang tidak kembali,” ujarnya.

“Semoga orang-orang dapat berkumpul kembali dengan orang-orang tercinta, kita menyaksikan masa depan yang lebih baik, dan Gaza dapat dibangun kembali secepatnya,” terangnya.

Selanjutnya: Mengenal Ajit Jain, Otak di Balik Mesin Kas Kas Warren Buffett

Menarik Dibaca: Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Lampaui Jumlah Penonton Film Agak Laen Pertama