Geser Dominasi Dolar AS, China dan Arab Saudi akan Gunakan Yuan untuk Perdagangan



KONTAN.CO.ID - MOSKOW. Dominasi dolar Amerika (AS) akan mulai tergeser. Hal ini seiring dengan rencana China dan Arab Saudi akan menggunakan yuan untuk perdagangan minyak global. 

Deutsche Welle (DW) melaporkan pada Rabu (23/3) bahwa Arab Saudi menjual sepertiga ekspor minyaknya ke China dan sejak awal tahun negara ini menggeser Rusia sebagai sumber minyak terbesar. 

Transaksi minyak menggunakan yuan akan membantu menciptakan sistem tandingan dalam pembayaran internasional, di mana mata uang China ini akan sama pentingnya seperti dolar AS. 


Kesepakatan dengan Arab Saudi  menjadi relevan di tengah invasi Rusia terhadap Ukraina. Pasalnya, Moskow bisa menghindari sanksi AS, jika mengadopsi yuan untuk transaksi luar negeri. China selama ini bersikeras netral. Namun, AS dan Eropa mencurigai Beijing secara diam-diam membantu Rusia.

Namun begitu, analis meyakini pengumuman Saudi untuk mengadopsi yYuan adalah peringatan terhadap negara barat. 

Baca Juga: Harga Minyak Melonjak 5%, Gangguan Pipa CPC Tambah Kekhawatiran Pasokan

Lembaga penelitian kebijakan luar negeri Eropa, EFCR, mencatat cara serupa pernah digunakan Saudi pada 2019 silam.

China sering digunakan sebagai alat tawar dalam hubungannya dengan Amerika Serikat. Contohnya, hanya beberapa bulan setelah pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi, putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menggunakan lawatannya di Asia untuk mempengaruhi perdebatan di AS dan Eropa soal penjualan senjata ke negaranya.

Relasi antara Saudi dan Amerika Serikat mendingin sejak pemerintahan Joe Biden, terutama perihal kejahatan HAM di Yaman. Menyusul invasi Rusia, AS dan Eropa mencoba menjaring dukungan negara teluk untuk menambah produksi minyak. Tapi permintaan itu ditolak.

"Negara-negara teluk meyakini, daya tawar atau daya tekan Washington sudah banyak melemah dibandingkan dulu. Mereka khawatir Timur Tengah tidak lagi dianggap penting,"kata Cinzia Vianco, peneliti Timur Tengah di ECFR. "

Kekhawatiran itu menjadi celah masuk bagi China. Sejak beberapa tahun terakhir, Beijing perlahan mempererat hubungan dagang dengan Saudi. Pada 2020, Riyadh menjadi mitra dagang terbesar bagi China di kawasan teluk.

Negeri tirai bambu itu juga berperan penting dalam proyek modernisasi masa depan yang digulirkan bin Salman, Vision 2030. Proyek raksasa itu ingin menyiapkan Saudi menyambut berakhirnya era minyak, antara lain lewat pembangunan infrastruktur.

Sementara itu, Rusia akan menggunakan rubel untuk transaksi penjualan gas ke negara-negara yang tidak ramah pada Rusia. 

Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan harga gas Eropa melonjak di tengah kekhawatiran langkahnya pasokan sehingga memperburuk krisis energi di kawasan itu.

"Jika Anda menginginkan gas kami, belilah mata uang kami. Perubahan hanya akan mempengaruhi mata uang pembayaran, yang akan diubah menjadi rubel Rusia," katanya.

Baca Juga: Minyak Mentah Naik Lebih 7%, Uni Eropa Mempertimbangkan Larangan Minyak Rusia

Gas Rusia menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi Eropa. Impor gas Uni Eropa dari Rusia tahun ini berfluktuasi antara 200 juta hingga 800 juta euro atau setara US$ 880 juta per hari.

"Rusia akan terus, tentu saja, untuk memasok gas alam sesuai dengan volume dan harga, tetap dalam kontrak yang disepakati sebelumnya," kata Putin.

Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat telah memberlakukan sanksi berat terhadap Rusia sejak Moskow mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari lalu. Tetapi Eropa sangat bergantung pada gas Rusia sebagai pemanas dan pembangkit listrik, dan Uni Eropa terpecah mengenai apakah akan memberikan sanksi pada sektor energi Rusia.

Rubel melompat sebentar setelah pengumuman mengejutkan ke level tertinggi tiga minggu melewati 95 terhadap dolar. Ini memangkas kenaikan tetapi tetap jauh di bawah 100, ditutup pada 97,7 terhadap dolar, turun lebih dari 22% sejak 24 Februari.

Editor: Herlina Kartika Dewi