KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kontribusi Bank BRI dalam mendanai proyek transisi energi semakin kuat penting. Dengan pendanaan dari Holding Ultra Mikro tersebut maka target bauran energi hingga 23% pada tahun 2030 akan tercapai. Indonesia dianggap paling siap untuk menuju energi hijau karena sumber daya yang melimpah, dari pembangkit surya, pembangkit geothermal, pembangkit air, biomassa, atau bahkan arus laut. Dengan adanya peran perbankan, termasuk Bank BRI dalam membiayai berbagai proyek energi hijau bisa membuat Indonesia menjadi negara yang paling cepat dalam melakukan akselerasi energi fosil ke energi hijau. Saat ini memang proyek-proyek energi hijau memerlukan pendanaan yang besar karena investasinya masih tinggi dibandingkan dengan investasi di energi fosil. Sebelumnya dalam ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting and Related Meetings, Selasa (22/8/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, Indonesia membutuhkan investasi sebesar US$ 200 miliar untuk pembangunan berkelanjutan dalam 10 tahun ke depan.
Melihat kebutuhan yang besar itu, keuangan berkelanjutan sangat penting dalam mengakselarasi proyek-proyek ramah lingkungan demi mencapai target net zero emission (NZE) di 2060. Direktur Utama BRI, Sunarso menyampaikan hingga akhir September 2023, BRI telah menyalurkan kredit ke Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan/KKUB sebesar Rp 750,9 triliun, atau sekitar 66,1% dari total penyaluran kredit BRI. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 11,9% secara tahunan. “Dari nominal tersebut, sebesar Rp 669,1 triliun disalurkan ke sektor UMKM, dan Rp 81,8 triliun disalurkan ke sektor Kredit Usaha Berwawasan Lingkungan/KUBL atau biasa disebut green loans,” ujarnya dalam Public Expose Live 2023, Kamis (30/11). Realisasi kredit KKUB ini naik pesat jika dibandingkan dengan penyaluran di akhir Juni 2023 di mana pada saat itu tercatat senilai Rp 79,4 triliun. Dari nilai tersebut, sebanyak Rp 5,7 triliun disalurkan kepada proyek renewable energy serta Rp 12 triliun untuk green transportation. Dia mengemukakan praktik ESG yang telah dilakukan BRI pun memberikan dampak nyata terhadap masyarakat Indonesia. Pada tahun 2022, Bank BRI telah merealisasikan penyaluran kredit proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebesar Rp 7,1 triliun, angka ini meningkat sebesar Rp 1,5 triliun atau 27,1% yoy dari 2021. Tidak hanya itu, BRI telah menerbitkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I atau Green Bond dengan target penghimpunan dana sebesar Rp 15 triliun, dan jumlah emisi tahap I di tahun 2022 sebesar Rp 5 triliun. Adapun penggunaan dana tersebut telah dialokasikan sebesar 80% kepada sektor - sektor Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan sesuai dengan POJK 60/2017. Berkaca dari komitmen itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan, saat ini peran perbankan termasuk Bank BRI dalam mendanai proyek energi hijau di Indonesia sudah jauh lebih baik dengan adanya taksonomi hijau. Taksonomi hijau adalah sistem klasifikasi yang menetapkan daftar kegiatan ekonomi ramah lingkungan dan menjadi pedoman sektor perbankan dalam menambah portofolio hijaunya. “Potensi pendanaan lewat perbankan masih sangat besar, ditambah bank juga diwajibkan mencari dan menambah portofolio hijau. Hanya saja masih ada tantangan yakni mencari proyek yang bankable,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (8/12). Fabby menyatakan, akan sangat baik jika pemerintah bisa mendorong Bank BUMN sebagai motor penggerak pendanaan proyek hijau. Dia melihat skala bank pelat merah seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan lainnya bisa sangat besar dan membantu untuk memberikan pinjaman bagi proyek berkelanjutan yang ramah lingkungan. “Jika bank BUMN dapat digerakkan, risiko kredit proyek hijau menjadi lebih baik, ini juga menjadi katalis bagi bank non BUMN dan yang bank lebih kecil untuk masuk ke proyek ramah lingkungan,” terangnya. Perbankan Bisa Jadi Solusi Semakin maraknya minat perbankan nasional ke proyek hijau membuat pelaku usaha semakin optimistis memandang prospek EBT di dalam negeri. Fabby melihat, di tahun depan ada beberapa proyek pembangkit energi terbarukan yang makin diminati perbankan, yakni pembangkit hidro seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTmh). Kemudian, Pembangkit Listrik tenaga Surya (PLTS) terkhusus off-grid. “Tidak hanya itu, pengadaan pasokan biomassa untuk co-firing juga menjadi proyek yang diincar oleh perbankan karena membutuhkan modal kerja dan dapat diklasifikasikan sebagai proyek hijau karena menyediakan bahan baku untuk pembangkit,” jelasnya. Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), Zulfan Zahar mengemukakan, perbankan pelat merah seperti Bank BRI dan lembaga keuangan non-bank dalam negeri semakin agresif membiayai proyek energi baru terbarukan.“Upaya ini mulai dilakukan baik sendiri maupun sindikasi,” ujarnya. Ke depannya, lanjut Zulfan pengusaha berharap lembaga keuangan dalam negeri bisa lebih masif lagi mengucurkan dana untuk proyek hijau. Sehingga diperlukan beberapa insentif dari pemerintah juga perbaikan perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN terutama terkait tariff.
Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan menyatakan, transisi energi dimulai dengan memaksimalkan dekarbonisasi di antaranya melalui co-firing biomassa pada pembangkit batubara PLN yang sudah dimulai sejak 2021. Kelak dengan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) mengenai co-fiirng yang saat ini masih dalam tahap harmonisasi, maka target pasokan biomassa ke pembangkit mencapai 10,2 juta ton pertahun mulai 2025.“Kami optimistis target ini bisa dicapai dan harus ada dukungan dari perbankan nasional,” ujarnya. Peluang lain yang harus didukung perbankan ialah target 25% heat energy di sektor industri dari energi terbarukan biomassa, kemudian pembangunan pembangkit tenaga biomassa (PLTBm) baru, dan ekspor biomassa.“Untuk itu, MEBI sudah merencanakan melakukan spesialisasi atau diskusi dengan pendanaan domestik,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini