Giliran operator seluler mendesak produsen BlackBerry



JAKARTA. Tuntutan terhadap Research in Motion (RIM), produsen ponsel pintar merek BlackBerry seolah datang bertubi-tubi. Dulu pemerintah, kini giliran operator seluler mendesak produsen ponsel asal Kanada itu memenuhi permintaan mereka.

Berdasarkan keterangan resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), awal September ini, para operator seluler menyurati pemerintah agar mendesak RIM memenuhi lima permintaan mereka.

Pertama, RIM harus membangun server di Indonesia. Kedua, menyediakan monitoring tools untuk memantau kinerja perangkat RIM. Ketiga, membuat perjanjian standar layanan atau Service Level Agreement (SLA). Keempat, meningkatkan kinerja terminal handset. Kelima, menyediakan tim ahli di bidang khusus (technical expert) di Indonesia.


Sarwoto Atmosutarno, Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menuturkan, operator seluler kesulitan meningkatkan performa layanan BlackBerry akibat fasilitas yang diberikan RIM masih minim. "Kami harus berkoordinasi jauh ke Kanada jika ada masalah," ungkapnya kepada KONTAN, Jumat (16/9).

Sarwoto menjelaskan, selama ini, konsumen telanjur mengganggap operator seluler sebagai pemilik merek BlackBerry sehingga tuntuan mereka sangat besar. ”Padahal, kami hanya menjual jasa. Kami tidak punya tim teknis yang bisa menyelesaikan semua persoalan pengguna BlackBerry," keluhnya.

Sebelumnya, hari Kamis (15/9), Jason Saunderson, Direktur Government Relations RIM telah memenuhi panggilan Kemkominfo di Jakarta. RIM menyatakan telah menjalankan sebagian besar kewajiban yang diminta pemerintah. RIM juga mengaku telah memfilter konten pornografi, membangun layanan purna jual, membangun networkcagregator, dan bekerjasama dengan penegak hukum untuk penyadapan (lawful interception).

Gatot S. Dewa Broto, Kepala Humas dan Komunikasi Publik Kemkominfo menyatakan, pemerintah masih mempelajari laporan dari RIM tersebut. "Kami masih cek pelaksanaannya," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie