KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Uni Eropa (UE) menghambat ekspor produk minyak sawit Indonesia dan turunannya tampaknya akan berbalas. Pasalnya, saat ini minyak nabati kemasan atau bermerek asal Uni Eropa tengah diselidiki Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Dalam penyelidikan ini, GIMNI menduga kuat UE melakukan dumping. Indikasi tersebut terlihat dari pertumbuhan penjualan soft oil seperti rapeseed, minyak zaitun, minyak bunga matahari dan minyak jagung yang meningkat sampai 14% per tahun sejak 2014. Sementara pertumbuhan konsumsi minyak goreng kemasan atawa bermerek hanya 9% per tahun. "Padahal dari segi harga, minyak nabati asal UE itu lebih mahal sekitar US$ 130 per ton dibandingkan minyak nabati Indonesia di pasar global,"ujar Sahat kepada Kontan.co.id, Rabu (30/5). Menurut Sahat, secara logis harga minyak nabati Eropa memang tinggi karena biaya produksi yang tinggi. Hal itu disebabkan tingkat produktivitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak sawit. Namun penjualan minyak nabati Eropa di segmen upper middle class economy seperti di hotel dan restoran di Indonesia justru lebih tinggi dari minyak sawit.
GIMNI temukan minyak nabati Eropa terindikasi dumping
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Uni Eropa (UE) menghambat ekspor produk minyak sawit Indonesia dan turunannya tampaknya akan berbalas. Pasalnya, saat ini minyak nabati kemasan atau bermerek asal Uni Eropa tengah diselidiki Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Dalam penyelidikan ini, GIMNI menduga kuat UE melakukan dumping. Indikasi tersebut terlihat dari pertumbuhan penjualan soft oil seperti rapeseed, minyak zaitun, minyak bunga matahari dan minyak jagung yang meningkat sampai 14% per tahun sejak 2014. Sementara pertumbuhan konsumsi minyak goreng kemasan atawa bermerek hanya 9% per tahun. "Padahal dari segi harga, minyak nabati asal UE itu lebih mahal sekitar US$ 130 per ton dibandingkan minyak nabati Indonesia di pasar global,"ujar Sahat kepada Kontan.co.id, Rabu (30/5). Menurut Sahat, secara logis harga minyak nabati Eropa memang tinggi karena biaya produksi yang tinggi. Hal itu disebabkan tingkat produktivitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak sawit. Namun penjualan minyak nabati Eropa di segmen upper middle class economy seperti di hotel dan restoran di Indonesia justru lebih tinggi dari minyak sawit.