KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menilai kebijakan pengenaan tarif pajak yang tinggi untuk sejumlah kegiatan hiburan bakal berdampak negatif bagi bisnis pariwisata nasional. Merujuk Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) Pasal
58 ayat 2, khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%. Pemerintah yang diwakilkan Kementerian Keuangan pun baru-baru ini meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil undang-undang tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pengurus Pusat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia Maulana Yusran mengatakan, pariwisata pada dasarnya merupakan sebuah ekosistem besar yang terdiri dari berbagai sektor industri yang saling berkaitan satu sama lain.
Baca Juga: KPPIP : Usulan PSN Gelora Bung Karno Masih Perlu Pembahasan Adanya pemberlakuan tarif pajak yang tinggi terhadap beberapa kegiatan yang dianggap sebagai hiburan justru bisa menggerus daya saing pariwisata itu sendiri. Apalagi, sudah menjadi fakta bahwa
belakangan ini sektor pariwisata Indonesia kalah saing dengan beberapa negara tetangga akibat perbedaan besaran pajak. Orang-orang pun menjadi cenderung menghindari kunjungan ke tempat karaoke, diskotek, bar, hingga spa karena tarifnya berpotensi melambung. Dari situ, pendapatan tempat-tempat usaha seperti itu terancam merosot dan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup para tenaga kerja di sana. “Pemerintah tidak bisa serta merta menaikkan pendapatan fiskal, sementara ada industri yang kolaps akibat kebijakan tersebut. Mestinya pemerintah bisa membuat kebijakan yang menumbuhkan daya saing,” ungkap dia, Jumat (12/7). Pengenaan tarif pajak yang tinggi juga belum tentu efektif implementasinya di lapangan. Risiko penyelewengan izin usaha terkait hiburan bisa saja terjadi dengan tujuan menghindari pajak tinggi.
Hal tersebut bahkan sudah terjadi ketika tarif pajak hiburan belum dinaikkan pemerintah.
“Di daerah-daerah tertentu ada saja kasus di mana KBLI-nya (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) bisnis kafe, tapi yang beroperasi justru menyerupai diskotek,” ujar dia memberi contoh. GIPI juga mempertanyakan alasan pemerintah ngotot mengenakan tarif pajak yang tinggi untuk sejumlah hiburan. Asal tahu saja, pemerintah beralasan bahwa aktivitas-aktivitas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa merupakan gaya hidup (l
ifestyle) dan bukan
basic needs yang dibutuhkan dalam kehidupan seperti sandang, pangan dan papan. Alasan tersebut dinilai tidak relevan karena seolah-olah hanya konsumen kelas atas saja yang dapat mengakses layanan-layanan tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Berupaya Turunkan Harga Tike Pesawat, Ini Catatan Pengamat GIPI: Tingginya Pajak Karaoke Hingg Spa Berdampak Negatif untuk Bisnis Hiburan Bisa Mempengaruhi Daya Saing Pariwisata Nasional Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Sulistiowati