Jakarta. Rencana pemerintah mengeluarkan minuman beralkohol dari daftar objek pajak barang mewah rupanya belum memuaskan pengusaha. Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) alias industri minuman beralkohol ringan juga mengusulkan agar pemerintah mengubah sistem pengenaan pajak minuman beralkohol. GIMMI usul agar pemerintah tidak menghitung besaran pajak minuman beralkohol berdasarkan harga seperti sekarang, tetapi berdasarkan kandungan alkoholnya. Dengan cara ini, GIMMI berharap, struktur pasar minuman beralkohol akan lebih adil. Pajak yang masuk ke pemerintah juga akan lebih besar.Selama ini, pemerintah memang tidak memperhatikan kandungan alkohol saat memungut pajak minuman beralkohol. "Akibatnya ada minuman berkadar alkohol 20% yang mestinya harganya Rp 50.000 per botol bisa diperoleh dengan harga sekitar Rp 14.000", kata Ipung Nimpuno, juru bicara GIMMI, baru-baru ini.Ipung khawatir, sistem seperti ini memancing pengusaha melaporkan harga di bawah harga sebenarnya (underinvoice) untuk mengurangi beban pajak mereka. Para pengusaha minuman beralkohol ringan yang teragabung dalam GIMMI merasa dirugikan oleh sistim perpajakan yang ada sekarang. Menurut Ipung, selama ini, kontribusi pajak minuman beralkohol dari anggota GIMMI mencapai 80% dari total pajak minuman beralkohol. Artinya, kontribusi pajak terbesar justru datang dari minuman berkadar alkohol ringan antara 1%-5% yang diproduksi anggota GIMMI. "Namun, volume minumannya (pangsa pasar) hanya 26%," katanya. Menurut data KONTAN, penjualan tahunan anggota GIMMI mencapai sekitar 1,6 juta hektoliter per tahun. Adapun total penjualan minuman beralkohol nasional mencapai 6,15 juta hektoliter per tahun. Lazim di negara lain Dengan pajak berdasarkan kadar alkohol, GIMMI berharap, pajak minuman keras akan lebih besar dan harganya lebih mahal ketimbang harga minuman beralkohol ringan seperti bir. "Sekarang ini ibarat ada Volvo harga Avanza," kata Ipung berseloroh.
GMMI: Pajak Minuman Alkohol Perlu Diubah
Jakarta. Rencana pemerintah mengeluarkan minuman beralkohol dari daftar objek pajak barang mewah rupanya belum memuaskan pengusaha. Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) alias industri minuman beralkohol ringan juga mengusulkan agar pemerintah mengubah sistem pengenaan pajak minuman beralkohol. GIMMI usul agar pemerintah tidak menghitung besaran pajak minuman beralkohol berdasarkan harga seperti sekarang, tetapi berdasarkan kandungan alkoholnya. Dengan cara ini, GIMMI berharap, struktur pasar minuman beralkohol akan lebih adil. Pajak yang masuk ke pemerintah juga akan lebih besar.Selama ini, pemerintah memang tidak memperhatikan kandungan alkohol saat memungut pajak minuman beralkohol. "Akibatnya ada minuman berkadar alkohol 20% yang mestinya harganya Rp 50.000 per botol bisa diperoleh dengan harga sekitar Rp 14.000", kata Ipung Nimpuno, juru bicara GIMMI, baru-baru ini.Ipung khawatir, sistem seperti ini memancing pengusaha melaporkan harga di bawah harga sebenarnya (underinvoice) untuk mengurangi beban pajak mereka. Para pengusaha minuman beralkohol ringan yang teragabung dalam GIMMI merasa dirugikan oleh sistim perpajakan yang ada sekarang. Menurut Ipung, selama ini, kontribusi pajak minuman beralkohol dari anggota GIMMI mencapai 80% dari total pajak minuman beralkohol. Artinya, kontribusi pajak terbesar justru datang dari minuman berkadar alkohol ringan antara 1%-5% yang diproduksi anggota GIMMI. "Namun, volume minumannya (pangsa pasar) hanya 26%," katanya. Menurut data KONTAN, penjualan tahunan anggota GIMMI mencapai sekitar 1,6 juta hektoliter per tahun. Adapun total penjualan minuman beralkohol nasional mencapai 6,15 juta hektoliter per tahun. Lazim di negara lain Dengan pajak berdasarkan kadar alkohol, GIMMI berharap, pajak minuman keras akan lebih besar dan harganya lebih mahal ketimbang harga minuman beralkohol ringan seperti bir. "Sekarang ini ibarat ada Volvo harga Avanza," kata Ipung berseloroh.