KONTAN.CO.ID - Bank Indonesia (BI) memperkuat ketentuan anti pencucian uang (APU) dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT) melalui perluasan subjek penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) bukan bank dan penyelenggara kegiatan usaha penukaran valuta asing (KUPVA) bukan bank, yang harus tunduk pada ketentuan tersebut. Perluasan itu sendiri tertuang dalam Peraturan BI (PBI) Nomor 19/10/PBI/2017 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Bagi Penyelenggaraan sistem Pembayaran Selain Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing (KUPVA) Bukan Bank. Beleid itu merupakan revisi dari PBI Nomor 14/3/PBI/2012 yang diterbitkan bank sentral 11 September 2017. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Eni V Panggabean mengatakan, penyempurnaan peraturan dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan dalam mendukung APU dan PPT, yang muncul dari perkembangan teknologi sistem informasi.
Sebab, dengan berbagai inovasi dalam kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing, maka produk, jasa, transaksi dan model bisnis pada kegiatan sistem pembayaran dan penukaran valuta asing menjadi semakin kompleks. Hal tersebut berpotensi meningkatkan risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. Adapun perluasan yang dimaksud, yaitu mencakup PSJP bukan bank seperti penyelenggara transfer dana dan penerbit alat pembayaran menggunakan kartu, dan penyelenggara dompet elektronik; dan penyelenggara KUPVA bukan bank misalnya startup teknologi jasa finansial (fintech). "Misalnya, Gojek, gopay, kan dia sudah ada uang elektronik maka dia harus tunduk aturan yan ada di BI. Di sini sudah ada hal-hal yang harus mereka terapkan untuk know your customer. Saat ini kami harus bisa membuat ketentuan yang ke depan bisa mengakomodir (fintech). Sekarang mungkin kita tidak tahu fintech ini seperti apa," kata Eni dalam acara bincang media di Gedung BI, Jakarta, Rabu (13/9). Selain perluasan PJSP bukan bank dan KUPVA bukan bank, PBI tersebut juga megatur lima hal lainnya dalam menerapkan APU dan PPT. Pertama, dalam menerapkan APU dan PPT, penyelenggara wajib menerapkan pendekatan berbasis risiko (risk-based approach), antara lain dengan memperhatikan faktor risiko terkait pengguna jasa, negara atau wilayah geografis, produk atau jasa, dan jalur atau jaringan transaksi. Risk-based approach juga akan diterapkan oleh BI dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan APU PPT oleh penyelenggara. Kedua, pencegahan pendanaan terorisme dan proliferasi senjata pemusnah masal. Pengaturan ini mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran, money changer, dan penyedia dompet elektronik untuk melaksanakan pemblokiran serta merta. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Hukum Rosalia Suci mengatakan, bank sentral mengawasi apakah PSJP patuh atau tidak dan wajib melapor ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bila ada transaksi mencurigakan. "Dia harus identifikasi dulu cocok nggak nih. Kemudian melakukan analisis sampai kepada kesimpulan bahwa itu mencurigakan. Dia punya batas waktu melapor ke PPATK, yaitu tiga hari sejak disimpulkan mencurigakan. Jika lewat itu dia tidak melapor artinya dia tidak membuat manajemen risiko, dia harus tanggung jawab, diberhentikan dari jabatannya dan tak boleh lagi menjabat di lembaga jasa keuangan," katanya.
Ketiga, mitigasi risiko terkait teknologi baru dan pemanfaatan inovasi teknologi. Contohnya, penyelenggara jasa sistem pembayaran, money changer, dan penyedia dompet elektronik bisa menggunakan teknologi, seperti video call, untuk menggantikan pertemuan langsung dengan konsumen tanpa menghambat inovasi yang dikembangkan. Keempat, penerapan Customer Due Diligence (CDD) secara sederhana. CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil nasabah. Kelima, penguatan sanksi. Pengenaan sanksi diperkuat dan diperluas dari sebelumnya hanya kepada penyelenggara menjadi pengurus, pemegang saham, dan atau pejabat senior. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto