KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk menggelar penawaran umum perdana saham atau
Initial Public Offering (IPO) saham GOTO di Bursa Efek Indonesia (BEI). Apakah IPO saham GOTO layak dibeli? Lalu, bagaimana cara ikut membeli IPO saham GOTO? Sesuai jadwal IPO saham GOTO, saat ini hingga 21 Maret 2022 adalah tahap masa penawaran awal. Kemudian, pemesanan IPO saham GOTO dapat dilakukan pada 29-31 Maret. Selanjutnya pada 4 April 2022 adalah tanggal pencatatan saham perdana GOTO di Bursa Efek Indonesia. IPO saham GOTO mengincar dana setidaknya Rp 15,2 triliun (US$ 1,1 miliar), dengan tambahan Rp 2,3 triliun (US$ 160 juta) dari
greenshoe.
Dalam IPO saham ini, GOTO menawarkan sebanyak 48 miliar saham baru Seri A dengan kemungkinan ditingkatkan sampai sebanyak-banyaknya 52 miliar saham baru dan mewakili hingga 4,35% dari modal ditempatkan dan disetor setelah selesainya IPO (tidak termasuk saham tambahan dari opsi penjatahan lebih). Kisaran harga saham GOTO untuk IPO ditetapkan sebesar Rp 316 hingga Rp 346 per saham. Sehingga kapitalisasi pasar saat pencatatan saham di BEI diperkirakan mencapai antara Rp 376,6 triliun (US$ 26,2 miliar) dan Rp 413,7 triliun (US$ 28,8 miliar), salah satu yang tertinggi di BEI. Menurut Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat, tidak bisa dihindarkan bahwa publik akan membanding-bandingkan IPO GOTO dengan perusahaan teknologi lain yang sudah melantai di BEI, yakni PT Bukalapak.com Tbk (
BUKA). Meski kondisi GOTO dan BUKA berbeda, tapi ada sejumlah hal yang perlu dicermati. Melantai di BEI sejak 6 Agustus 2021, IPO Bukalapak sempat membuat euforia pelaku pasar. Mencatatkan saham perdana dengan harga IPO Rp 850, BUKA memegang rekor nilai IPO terbesar sejumlah Rp 21,9 triliun. Namun, euforia BUKA tak berlangsung lama. Saham BUKA sudah anjlok dengan tajam ke level Rp 276 sampai dengan perdagangan Selasa (15/3).
Baca Juga: Harga Saham TPIA Naik Tinggi, Apakah Masih Layak Dibeli atau Saatnya Jual? Teguh menyoroti, harga penawaran IPO saham GOTO memang lebih murah di kisaran Rp 316 hingga Rp 346 per saham, meski dengan
marketcap yang jumbo di atas Rp 400 triliun. Jika diestimasi
marketcap BUKA saat IPO sebesar Rp 80-an triliun, maka
marketcap GOTO empat kali lipat lebih besar dari BUKA. Hal ini bisa dijustifikasi lantaran jika dibandingkan dalam bisnis
e-commerce, Tokopedia lebih unggul dalam hal pangsa pasar dibandingkan Bukalapak. Belum lagi jika ditambahkan ekosistem Gojek sebagai pemimpin pasar di industri transportasi online. Bahkan,
marketcap GOTO juga sangat jumbo jika dibandingkan salah satu konglomerasi raksasa di Indonesia, yakni PT Astra Internasional Tbk (
ASII). Marketcap Astra sekitar Rp 255 triliun, nyaris setengah dari
marketcap GOTO. Padahal, dari sisi kinerja keuangan, GOTO senasib dengan BUKA, masih sama-sama menanggung kerugian. "Perusahaan sama-sama rugi dan valuasinya jauh lebih tinggi, bagaimana pun orang akan membandingkan dengan Bukalapak. Kalau pada IPO Bukalapak saya menyarankan untuk tidak membeli sahamnya, sebenarnya untuk GoTo ini saya menyarankan hal yang sama," kata Teguh saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (15/3). Dari sisi momentum, lanjut Teguh, ada perbedaan signifikan antara IPO saham BUKA dan GOTO. Saat BUKA menggelar IPO pertengahan tahun lalu, saham-saham teknologi seperti yang berada di Amerika Serikat sedang menjadi primadona. Namun belakangan ini saham-saham teknologi semacam Amazon, Alibaba, Facebook, dan Netflix tengah merosot. Alhasil, Teguh melihat IPO GOTO tidak sedang berada di momentum yang tepat untuk perusahaan teknologi. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Teguh pun menyarankan pelaku pasar untuk
wait and see terlebih dulu. "Kita lihat saja dulu. Bukalapak jadi contoh yang nyata, sahamnya turun. Tidak ada jaminan GoTo tidak bernasib sama. Mungkin di masa mendatang akan untung, tapi saat ini saya belum merekomendasikan sahamnya," tegas Teguh. Sementara itu, Analis Fundamental B-Trade Raditya Krisna Pradana berharap skema
greenshoe option dan hak suara multipel atau
multiple voting shares (MVS) bisa efektif untuk ikut menjaga harga saham GOTO setelah melantai di BEI. Sehingga menawarkan rasa aman terhadap investor yang akan membeli saham GOTO, agar tidak jatuh di bawah harga penawaran perdana. Raditya melihat sebagian investor masih trauma terhadap kejatuhan harga saham teknologi di lini
e-commerce sebelumnya. Meski, sebagian lainnya sangat antusias terhadap IPO GOTO ini. Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi alasan pelaku pasar untuk buy atau tidak berpartisipasi dalam IPO saham GOTO. Bagi yang memilih buy, mereka optimistis dengan prospek dan ekosistem GoTo yang kuat. Selain itu, adanya skema
greenshoe dan MVS yang akan menopang harga saham GOTO, serta tercatat sebagai calon emiten dengan big caps di jajaran 5 besar membawa euforia yang tinggi. Sedangkan untuk yang tidak ingin membeli saham GOTO saat IPO, didasarkan pada dua pertimbangan ini. Pertama, GOTO belum mampu membukukan keuntungan bersih secara tahunan. GOTO juga masih berpotensi mencatatkan kerugian bersih dalam beberapa tahun ke depan.
Baca Juga: IPO GoTo, Ini Rincian Penggunaan Dananya Kedua, IPO saham GOTO berada di momentum ketidakpastian pasar yang cukup tinggi. Dikelilingi sejumlah faktor seperti geopolitik konflik Rusia-Ukraina, rencana kenaikan suku bunga The Fed, hingga rencana lockdown di China. Rencana kenaikan suku bunga oleh The Fed menjadi pemberat terutama untuk sektor teknologi. Sebab, hal ini berpotensi meningkatkan beban bunga emiten-emiten teknologi. "Menurut analisis kami,
wait and see merupakan suatu langkah yang bijak dalam kondisi ini. Kami prefer melihat pergerakan GoTo saat sudah melantai di bursa," ujar Raditya. Dihubungi terpisah, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana melihat bahwa sebagai
market leader di sektornya, potensi pertumbuhan GOTO memang menarik. Namun, secara fundamental GOTO masih merugi, dengan kerugian sekitar Rp 12 triliun per September 2021. Oleh sebab itu, GOTO tidak bisa diharapkan meraih laba bersih dalam jangka pendek. Sehingga yang akan dilihat investor hanya dari sisi
growth dan penguasaan pangsa pasar. "Dengan demikian harga GOTO akan
volatile mengikuti persepsi investor terhadap dua hal tersebut," kata Wawan. Dengan
marketcap yang besar sekitar Rp 377 triliun - Rp 413 triliun, GOTO berarti setara dengan sekitar 5% dari total
marketcap IHSG dan menempati posisi keempat di bawah BBCA, BBRI dan TLKM. "Dari
fund manager yang
tracking index akan cenderung mengkoleksi GOTO," imbuh Wawan. Di sisi lain, skema
greenshoe memang memberikan keyakinan pada investor bahwa harga saham GOTO akan dijaga tidak lebih rendah dari harga IPO. Skema ini juga dinilai untuk menjaga harga saham GOTO agar menarik bagi investor global, mengingat rencana GOTO melakukan
dual listing di bursa saham luar negeri. Namun, opsi pada skema
greensoe ini terbatas karena sekitar 15% dari lembar saham IPO. Jadi apabila setelah dilakukan pembelian hingga 7,8 miliar lembar saham harganya masih turun, maka harga saham GOTO bisa jebol.
Baca Juga: Pekan ini, KPPU Sampaikan Hasil Penilaian Merger Gojek dan Tokopedia Wawan mengingatkan, meski dengan segala prospeknya, secara fundamental GOTO masih merugi. Wawan berpesan agar pelaku pasar tidak FOMO (
Fear of Missing Out) alias hanya ikut-ikutan. "Berkaca pada IPO jumbo sebelumnya BUKA dan MTEL harga bisa saja turun atau dalam kasus MTEL cenderung tidak bergerak. Investor bisa menunggu di pasar sekunder untuk melihat dulu perkembangannya," ujar Wawan. Jika tertarik, investor bisa membeli dengan tetap mempertimbangkan faktor risiko. Seperti memiliki exit strategi yang disiplin. Misalnya,
cutloss jika rugi 10% dan profit
taking jika sudah 20%.
Editor: Noverius Laoli