Golkar desak penghapusan BM impor busway



JAKARTA. Partai Golkar mendesak pemerintah pusat untuk menghapuskan bea masuk bagi impor Bus Rapid Transit (BRT) atau busway ke sejumlah daerah di Indonesia. Pasalnya, meski pemerintah sudah membebaskan tarif PPnBM menjadi nol persen, namun tarif bea masuk masih sebesar 40%. Padahal, penggunaan busway dinilai menjadi salah satu pemecahan masalah kemacetan di sejumlah daerah di Indonesia.

“Karena pengadaan busway belum bisa dipenuhi oleh industri bus dalam negeri, jadi pemerintah kami desak untuk merealisasikan pembebasan bea masuk atau 0% bagi pengadaannya di seluruh Indonesia,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis, di Jakarta, Kamis (16/1/2014).

Harry mengatakan, pemerintah harus memberikan keringanan pajak untuk transportasi publik daripada memberikan subsidi pada sekelompok orang-orang kaya.


Pemerintah juga harus tegas dalam keberpihakan untuk transportasi publik. Sebab, disamping membangun kelompok masyarakat menengah ke bawah juga sekaligus mengurangi potensi kemacetan yang terus bertambah.

Saat ini, kata dia, tercatat enam kota besar yang rencananya akan membangun proyek busway sebagai transportasi massal, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan dan Makassar.

Karena itu, penggunaan busway yang dikelola oleh TransJakarta dapat menjadi pilot project bagi sejumlah daerah di Indonesia, sebagai transportasi massal bagi masyarakat. Apalagi, pemerintah pun telah mengalokasikan dana sebesar Rp 384 miliar untuk pembangunan busway dan sejumlah sarana penunjang lainnya.

“Bayangkan jika pemerintah ngotot mengenakan tarif bea masuk 40%, maka betapa beratnya bagi daerah untuk membangun dan mengembangkan busway sebagai moda transportasi massal,” kata dia.

Dua Argumentasi

Harry menilai, paling tidak terdapat dua alasan utama yang harus dilakukan pemerintah dalam mengurai tingkat kemacetan di setiap daerah sembari menjaga momentum pertumbuhan.

Pertama, kota-kota besar di Indonesia cepat atau lambat akan tumbuh dan berhadapan dengan kemacetan. Sementara itu, pembangunan infrastruktur selalu kalah dengan pertumbuhan kendaraan bermotor.

Sehingga, setiap daerah harus menggenjot kehadiran moda transportasi massal yang baik untuk mempersiapkan kenyamanan bagi masyarakat di seluruh Indonesia.

“Kehadiran transportasi massal seperti busway, menjadi salah satu kebijakan penting yang harus diwujudkan,” ungkap Harry.

Kedua, lanjut Harry, sudah menjadi tugas negara untuk membangun transportasi massal. Masalahnya, hingga saat ini negara belum mempunyai blue print untuk transportasi massal bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia. Sehingga kebijakannya juga belum terdefinisikan dengan baik. Selain itu, transportasi massal juga tidak hanya terkait dengan bus, tetapi harus terintegrasi dengan kereta api dan sebagainya.

Karena itu, kata Harry, pengadaan busway di setiap daerah harus terintegrasi dengan moda transportasi lainnya. Seperti kereta api atau commuter line yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Namun, harus diakui untuk melakukan integrasi itu membutuhkan waktu dan dana yang sangat besar.

“Itu sebabnya, sebagai langkah awal dalam blue print transportasi massal, pengadaan busway perlu segera diwujudkan sebagai moda transportasi yang nyaman bagi masyarakat. Utamanya, bagi daerah yang telah dan akan mengalami kemacetan akibat pertumbuhan ekonomi,” jelas Harry.

Menurut Harry, pembebasan bea masuk bagi impor busway juga akan mendorong masuknya investor dari berbagai daerah di Indonesia untuk bersaing mewujudkan pengadaan busway yang berkualitas. Dengan demikian, busway sebagai moda transportasi massal yang memadai pun akan terwujud.

Jadi, meskipun operator pelaksananya swasta, ucap Harry, yang penting adalah tersedianya transportasi massal bagi masyarakat umum yang berbiaya murah. Pemerintah bisa memberi subsidi bagi masyarakat dengan membebaskan bea masuk busway tersebut, sambil mempersiapkan industri bus dalam negeri yang mampu membangun busway di Indonesia.

Selain itu, tambah dia, pemerintah juga tetap bisa bekerja sama antar instansi untuk memastikan bahwa busway yang dibebaskan bea masuknya tersebut dipergunakan benar sesuai peruntukannya atau tidak. Paling tidak untuk jangka waktu 10 tahun ke depan.

“Intinya, pengadaan busway sangat diperlukan oleh daerah-daerah yang ingin mengurai kemacetan daerahnya. Apalagi jika busway bisa diberlakukan secara nasional, maka proses monitoring dan evaluasinya pun dapat dilakukan secara terpadu dan terukur jelas. Karena itu, sekali lagi kami mendesak pemerintah pusat untuk mewujudkan pembebasan bea masuk bagi impor busway di seluruh Indonesia,” tandas Harry.

Realokasi dana SAL

Terkait pendanaan untuk pengadaan busway, tambah Harry, pemerintah pusat juga dapat melakukan realokasi dana dari Sisa Anggaran Lebih (SAL) setiap tahunnya, sekitar Rp 1-2 triliun. Langkah itu dapat diambil sebagai bentuk dukungan negara kepada daerah dalam membangun transportasi massalnya.

Harry mencontohkan, pemerintah bisa merealokasi dana SAL dari tahun anggaran 2013 yang mencapai Rp 20,5 triliun, sekitar Rp 2 triliun. Dana sebesar itu dapat membeli sekitar 4.000 busway, yang kemudian ditempatkan pada daerah-daerah prioritas dengan tingkat kemacetan yang tinggi. Dan dari total busway  itu, pemerintah dapat mendorong daerah untuk memberikan skema subsidi dan nonsubsidi kepada pengguna busway tersebut.

Misalnya, pemerintah menetapkan sebanyak 2.000 busway berbayar khusus untuk karyawan dan 2.000 busway lainnya gratis khusus untuk pelajar dan mahasiswa.

Sehingga tercipta subsidi silang, dan masyarakat dapat menikmati fasilitas memadai yang dimiliki busway itu. Dan sebagai imbalannya kepada pemerintah, masyarakat beralih menggunakan moda transportasi massal tersebut. Sehingga kemacetanpun dipastikan teratasi secara signifikan.  

“Realokasi SAL seperti ini kami pastikan sangat berdampak besar bagi masyarakat. Pertanyaannya, apa pemerintah pusat berani melakukan terobosan seperti ini. Daripada dipergunakan hanya untuk kegiatan konsumtif, maka akan sangat berdampak jika SAL bisa diinvestasikan dalam bentuk belanja barang bagi kebutuhan publik,” tutup Harry.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan