Golkar: Wacana hukuman mati Akil perlu lihat KUHAP



JAKARTA. Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golkar, Indra Jaya Piliang, mengatakan, partainya siap mendukung penuntasan kasus korupsi Indonesia dengan menghormati prinsip hukum yang berlaku dan bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

“Adanya wacana hukuman mati terhadap tersangka kasus dugaan penyuapan AM, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) justru mereduksi semangat terhadap proses hukum yang adil dan manusiawi,” ujar Indra di Media Center BKPP DPP Partai Golkar,  Jumat (4/10).

MK sendiri sudah menolak permohonan yang diajukan oleh Amrozi, Muklas dan Imam Samudera, terpidana kasus bom Bali. Dalam keputusan yang dibacakan tanggal 21 Oktober 2008 itu, MK menyatakan bahwa UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Sekalipun begitu, lanjutnya, Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) dan bukan negara kekuasaan (maachstaat) mestinya mengedepankan hak-hak asasi manusia universal yang menegaskan bahwa hukuman mati bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.

“Bagaimanapun, setiap individu manusia memiliki hak-hak hidup yang tidak bisa dilanggar, dikurangi dan dibatasi dalam keadaan apa pun, termasuk apabila melanggar hukum,” tutur Indra.

Indra menilai wacana hukuman mati terhadap tersangka kasus gratifikasi AM sebagai Ketua MK perlu dikerucutkan ke dalam pasal-pasal yang ada di dalam undang-undang, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

“Apakah kasus gratifikasi ini termasuk dalam ketentuan lex specialis yang bisa diperlakukan ataukah masuk lex generalis yang sama sekali tidak bisa diberlakukan ke dalam kasus-kasus korupsi,” ujarnya.

Kedua, di luar itu, hukuman berat lain bisa juga diberikan, yakni hukuman seumur hidup ditambah dengan hukuman lain berupa pembatalan hak-hak politik, seperti dicalonkan atau mencalonkan diri (lagi) ke dalam jabatan-jabatan publik (politik).

Pemberlakuan hukuman pembatalan hak-hak politik ini seyogianya juga menjangkau penyelenggara negara lainnya, baik pegawai negeri sipil ataupun pejabat-pejabat di tingkat lembaga-lembaga negara dan komisi-komisi negara.

Selain itu, Indra meminta MK atau pihak terkait perlu melakukan peninjauan atas ketentuan undang-undang menyangkut perkara ini. Kalau perlu, sandaran hukumnya dipertegas dengan cara merevisi ketentuan perundang-undangan terkait dalam perkara korupsi (termasuk gratifikasi).

“Kami menegaskan bahwa sebagai partai politik, Golkar mendorong semangat pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagaimana sikap yang sudah ditunjukkan oleh Partai Golkar sejak amandemen UUD 1945 dan penyusunan pelbagai undang-undang sejak tahun 1998,” tegas Indra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan