Google, Fb, Twitter & Yahoo! bisa lolos pajak



Jakarta. Pemerintah harus bersiap gigit jari dalam upaya mengejar penerimaan pajak dari empat perusahaan digital terbesar di dunia: Google, Facebook, Twitter dan Yahoo! Sebab masih ada hambatan aturan yang menyebabkan keempat raksasa digital dunia itu sulit dijangkau.

Saat ini pemerintah sedang memeriksa empat perusahaan digital itu. Sebab selama ini mereka tidak pernah membayar pajak, karena statusnya yang hanya berupa kantor perwakilan di Indonesia. Baru akhir-akhir ini statusnya berganti menjadi Badan Usaha Tetap (BUT).

Namun seorang sumber di DJP mengatakan, meski sudah menjadi BUT masih ada celah bagi empat perusahaan tadi lolos dari kewajiban membayar pajak. Sebab, dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), kewajiban membayar pajak hanya berlaku bagi transaksi yang dilakukan oleh BUT.


Sedangkan, empat raksasa digital itu tidak melakukan transaksi langsung. Penghasilan yang diperoleh dari indonesia hanya bersifat sumber penghasilan atau source income. Persoalannya. "Inilah yang tidak diatur dalam dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU PPh itu, " kata dia.   

Oleh karenanya, perlu payung hukum baru, minimal Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Aturan baru harus bisa mewajibkan semua aktifitas transaksi dilakukan melalui BUT kena pajak. Jika tidak, "Mereka bisa lolos," kata sumber tersebut kepada KONTAN.

Direktur Esksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, catatan ini merupakan kelemahan hukum pajak indonesia. Aturan pajak yang ada memang tidak mengakomodir perkembangan teknologi informasi dan sistem bisnis mutakhir.

Kondisi serupa sebetulnya dialami oleh banyak negara, tak hanya Indonesia. Karenanya, negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyoroti masalah tersebut.

Tetap dikejar

Saat ini, proses pemeriksaan wajib pajak kakap itu tengah ditangani oleh kantor wilayah pajak khusus DKI Jakarta. Kepala Kanwil Pajak Khusus Muhammad Hanif, mengaku proses penyelidikan masih berlangsung.

Pihaknya masih terus mengumpulkan sejumlah data transaksi perusahaan selama di Indonesia. Pihaknya memang berharap bisa mendapatkan penerimaan pajak dalam kurun waktu hingga lima tahun ke belakang.

Yang terbaru pihaknya akan bertemu dengan petinggi Google dari Singapura untuk mengonfirmasi sejumlah data. Ia ingin memastikan potensi pajak yang tidak pernah dibayar perusahaan tadi.

Hanif yakin, pihaknya bisa memaksa perusahaan-perusahaan BUT tersebut untuk membayar kewajibannya. Sebab, sudah banyak negara yang sudah berhasil menerapkan konsep BUT.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto