GPN disorot terkait perang dagang China-AS, ini komentar BI



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dirilis Bank Indonesia (BI) sedang disorot Amerika Serikat (AS). Isu mengenai GPN ini dibahas dalam produk generalized system of preferences (GSP).

GSP adalah fasilitas atau hak istimewa yang diberikan kepada produk-produk ekspor dari seluruh negara ke AS dan sudah diterapkan sejak 1974. Setidaknya ada 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapatkan hak istimewa dengan jumlah produk yang diberikan sekitar 5.000-an.

Menanggapi hal ini, Onny Widjanarko, Kepala Departemen Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) mengakui memang dengan diimplementasikannya GPN maka pangsa pasar switching internasional seperti Visa dan Mastercard akan semakin tergerus.


"Dengan adanya GPN kami tidak bermaksud menutup pasar siapapun," kata Onny ketika ditemui disela acara pameran UMKM Karya Kreatif Indonesia 2018, Jumat (20/7). 

Visa dan Mastercard, menurut Onny masih bisa bermain di bisnis cross border.

Untuk bisnis switching domestik menurut BI memang GPN akan memakan pasar yang selama ini dinikmati oleh Visa dan Mastercard.

Terkait dengan disorotnya GPN oleh AS ini, BI menurut Onny tidak akan me-review implementasi GPN. Hal ini karena menurut BI, GPN baru saja diimplementasi.

Selain itu, menurut BI, GPN memiliki beberapa keuntungan secara domestik. Salah satunya adalah program bansos, yang distribusinya banyak ditolong oleh GPN.

Untuk merchant discount rate (MDR) yang off us sebelum ada GPN 2%-3%, setelah adanya GPN turun drastis hanya 1%. Ada juga elektronifikasi tol yang juga terbantu dengan GPN.

Terkait dibahasnya GPN sebagai penyebab perang dagang RI-AS ini, BI sudah melakukan koordinasi dengan pemerintah. Sebagai gambaran, sampai Mei 2018, BI mencatat jumlah kartu debit beredar sebanyak 140 juta.

Dari jumlah ini, 80%-90% masih menggunakan logo prinsipal internasional. Dengan semakin banyaknya kartu debit GPN diperkirakan jumlah kartu berlogo switching internasional ini bisa berkurang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi