Greenpeace: Prabowo tak paham akar persoalan hutan



JAKARTA. Greenpeace mengapresiasi fokus kedua pasangan capres dan cawapres yang menitikberatkan diversifikasi energi dan energi baru terbarukan (EBT) dalam debatnya, malam Sabtu (5/7). Namun sejumlah catatan diberikan oleh LSM ini kepada kedua pasangan. Jika janji Jokowi perlu diuji, Greenpeace mengatakan Prabowo tidak paham akar persoalan kerusakan hutan Indonesia.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hindun Mulaika menilai, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa telah menjabarkan langkah peningkatan energi baru terbarukan (EBT) yang konkrit melalui insentif dan sistem feed in tarif. Termasuk adanya target yang jelas yaitu lebih dari 25% pada 2030. Namun pasangan ini juga masih memprogramkan peningkatan eksplorasi minyak, serta energi fosil lain.

Sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla ingin mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan perbaikan transportasi massal khususnya di kota-kota besar yang menjadi salah satu solusi untuk melakukan efisiensi penggunaan energi dan subsidi. Hanya saja titik berat pengembangan energi fosil (gas, minyak bumi) terlihat masih dominan.


Oleh karena itu, menurut Hindun, keduanya belum menggambarkan implementasi sinergi antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan.

"Jokowi-Hatta belum melakukan penjabaran teknis pembangunan rendah karbon yang seharusnya bisa menjadi prioritas baru pembangunan ekonomi Indonesia masa depan. Prabowo-Hatta hanya melihat masalah ini dari segi pertumbuhan penduduk, tetapi masih belum menyoroti bahwa over eksploitasi SDA secara besar-besaran adalah penyumbang utama kerusakan alam Indonesia,” katanya dalam rilis yang diterima KONTAN, Minggu (6/7).

Sementara itu Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Teguh Surya mengatakan, komitmen Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk memberikan sanksi keras terhadap korporasi perusak hutan perlu diuji terlebih dahulu. Implementasi terutama dalam penyelesaian tunggakan kasus kebakaran hutan, dan korupsi sumber daya hutan.

Sementara itu komitmen penyelesaian tumpang tindih perijinan di kawasan hutan seharusnya diawali dengan memperkuat dan memperpanjang kebijakan moratorium yang akan berakhir pada Mei 2015, termasuk review perizinan yang ada saat ini.

Kedua pasang calon tidak jelas menyebutkan komitmen untuk melanjutkan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca indonesia, sehingga ada kemungkinan hutan dan gambut tidak mendapat perlindungan di masa depan. Juga tidak ada kejelasan upaya pecegahan kebakaran hutan, sebab target dari penurunan emisi Indonesia pada 2020 adalah menghentikan laju deforetasi, cegah kebakaran dan lindungi gambut secara total.

Sedangkan Prabowo yang menyatakan masyarakat sebagai perambah hutan adalah salah besar, itu juga menyiratkan tidak pahamnya tentang akar persoalan kerusakan hutan Indonesia. Sebagian besar hutan justru rusak akibat ekspolitasi untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) skala besar,” kata Teguh.

Sementara untuk isu kelautan, Juru Kampanye Lautan Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution menilai, kedua pasangan capres-cawapres sama sekali tidak menjelaskan urgensi pencegahan pencemaran laut, pengelolaan sumberdaya ikan bertanggungjawab dan penanganan penangkapan ikan berlebihan sebagai upaya nyata untuk memulihkan kesehatan ekosistem laut. Juga memastikan ketersediaan dan kedaulatan pangan saat ini dan dimasa depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa