JAKARTA. Langkah Growth Steel Group tampaknya patut diapresiasi. Dengan menggunakan cangkang sawit sebagai sumber energi, mereka membangun Pembangkit Listtrik Tenaga Uap (PLTU) biomassa yang lebih ramah lingkungan, ketimbang yang dibangun pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara. Sejak tahun 2008, Growth Steel mulai membangun PLTU biomassa. Tujuannya untuk memasok kebutuhan listrik mereka sendiri. Maklum, sebagai perusahaan baja dan pemurnian mineral tambang, mereka membutuhkan listrik yang pasokannya stabil. Selain dipakai sendiri, kelebihan listrik yang dihasilkan oleh Growth Steel, alias excess power dijual ke PT PLN (Persero) dengan harga Rp. 975 per kWh. Dari 60 MW listrik yang dihasilkan tiga PLTU biomassa Growth Steel yang sudah beroperasi, mereka menjual excess power sebanyak 49 MW.
Saat ini mereka telah mengoperasikan tiga pembangkit. Pertama, PLTU biomassa di Kawasan Industri Medan dengan kapasitas 2x15 MW (mega watt). Kedua, pembangkit Simalungun di Sumatra Utara yang berkapasitas 1x15 MW. Ketiga, PLTU biomassa Jambi dengan kapasitas 2x15 MW yang dioperasikan PT Rimba Palma Sejahtera Lestari. Tahun ini mereka akan menyelesaikan pembangunan dua pembangkit biomassa lagi. Lewat PT Indocoke Industry, akhir Januari ini pembangkit Cilegon dengan kapasitas 1x15 MW selesai dibangun. Indocoke Industry merupakan produsen hard coking coal (bahan baku campuran untuk produksi baja) hasil joint venture antara perusahaan baja Singapura, Lee Metal Group Ltd dengan Growth Steel Group. Investasi relatif minim Selain itu, Growth Steel juga tengah berkonsentrasi untuk menyelesaikan pembangunan pembangkit biomassa Pontianak 1X15 MW. Ground breaking PLTU ini sudah dilakukan sejak sekitar tiga bulan lalu. Konstruksinya ditargetkan selesai pada semester IV-2014. "Pekerjaannya cuma 10 bulan," jelas Jonatan Handojo, Bussiness Development Head Growth Steel Group. Growth Asia membangun pembangkit biomassa ini dengan nilai investasi sekitar US$ 900.000 per MW. Artinya, untuk membangun pembangkit di Cilegon dan Pontianak, mereka mengeluarkan investasi sekitar US$ 27 juta. Nilai investasi itu tergolong kecil. Pasalnya, semua komponen mesin dan konstruksi sipil diproduksi sendiri. Sebagai perbandingan, kata Jonatan, umumnya investasi pembangunan pembangkit biomassa berbasis cangkang sawit menelan biaya antara US$ 1,25 juta per MW hingga US$ 1,300 juta per MW.
Namun kiprah Growth Steel Group di sektor listrik tidak bebas dari hambatan. Perusahaan itu mengaku kesulitan mendapatkan cangkang kelapa sawit dengan harga murah. Kendala lain adalah tidak adanya jaminan stabilitas pasokan untuk jangka waktu yang panjang. Saat ini harga cangkang sawit di pasar ekspor sekitar Rp 775 per kilogram (kg). Sebagai perbandingan, harga batubara untuk bahan bakar PLTU sekitar US$ 80 per ton, setara dengan Rp 960 ribu per ton (kurs US$ 1 = Rp 12.000). Alhasil, limbah ini menjadi komoditas yang menggiurkan di pasar internasional. Makanya, ia sangat berharap pemerintah melakukan proteksi dengan membatasi ekspor cangkang kelapa sawit yang menjadi bahan bakar PLTU Biomassa. "Saat ini, harga cangkang kelapa sawit yang dijual ke Thailand sebesar Rp 775 per kg. Dengan harga jual sebesar itu, bisa diartikan justru Thailand yang akan menikmati listrik murah dari cangkang sawit Indonesia,"jelas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan