Untuk mengatasi kampung kumuh di sekitar bantaran kali, tidak perlu merelokasi warga ke tempat yang jauh. "Rumah deret adalah solusinya," kata Joko Widodo dalam debat kandidat calon gubernur DKI Jakarta, September 2012 lalu. Ya, rumah deret merupakan salah satu program unggulan Jokowi, sapaan akrab mantan Walikota Solo ini, yang dia jual saat masa kampanye untuk meraih dukungan warga Ibukota. Dan, ia berencana memenuhi janjinya sekarang setelah menjadi gubernur DKI.Tapi, janji itu tampaknya sulit terwujud. Kok, bisa? Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tidak menyetujui pembangunan rumah deret di sekitar Kali Ciliwung. Padahal, untuk membuat satu rumah deret dan menggeser 870 kepala keluarga sejauh 10 meter - 15 meter dari bibir kali, Jokowi bilang, biaya yang dibutuhkan terbilang murah, cuma sekitar Rp 24 miliar.
Tapi, Kementerian PU yang awalnya memberi lampu hijau, belakangan menolak ide itu. Pemerintah pusat punya dalih: mendirikan bangunan di sekitar kali melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Beleid ini melarang mendirikan bangunan di sekitar atau di atas sungai kecuali memang sangat diperlukan. Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PU Budi Yuwono menegaskan, pembagunan rumah deret di sekitar kali justru membahayakan warga ketika ada arus sungai kuat yang menghamtam fondasi bangunan. Selain legalitas tanah yang belum jelas, jumlah sampah bakal meningkat dan dikhawatirkan masuk ke kali, meski sebelumnya Kementerian Perumahan Rakyat (Kempera) siap menyediakan tempat sampah terpadu. Dan sekalipun, untuk mengantisipasi kemungkinan ini, Jokowi sudah memperhitungkannya dengan mendirikan rumah deret secara vertikal dan menghadap ke kali. Harapannya adalah, agar warga malu melihat kondisi kali yang menjadi beranda rumahnya penuh dengan tumpukan sampah. Lewat cara ini, warga secara tidak langsung disadarkan untuk tidak sembarangan membuang sampah ke kali. Toh, Kementerian PU bergeming karena belum ada analisis dampak lingkungan dari proyek mempercantik kampung kumuh itu.Alhasil, tak sedikit yang bertanya-tanya, apakah di balik penolakan Kementerian PUitu ada kaitannya dengan sikap Jokowi yang belum merestui pembangunan enam ruas tol dalam kota? Ihwalnya, gubernur yang baru bekerja 42 hari ini tidak tertarik dengan jalan tol. Pria yang sekarang popularitasnya melebihi artis ini punya obsesi besar menyukseskan angkutan massal di Jakarta. Menurut Jokowi, enam ruas jalan tol yang digagas gubernur DKI sebelumnya Fauzi Bowo itu masih dalam kajian. "Saya pro-transportasi massal, bukan tol dalam kota," tegas Jokowi.
Sikap orang nomor satu di Jakarta itu kini mendapat dukungan dari warga, aktivis, dan LSM yang tergabung dalam Petisi Menolak 6 Ruas Jalan Tol. Usman Hamid, penggagas petisi ini menuntut Jokowi secara tegas menolak proyek tol senilai Rp 42 triliun tersebut. "Kami sangat kecewa jika akhirnya proyek ini dilanjutkan, meskipun nantinya akan ada jalur untuk transportasi publik seperti busway di ruas tol itu," tegas Usman. Firdaus Cahyadi, anggota petisi dari LSM Satu Dunia menyebutkan, kehadiran jalan tol di Jakarta justru menambah kemacetan berdampak sosial dan lingkungan. Selain memanjakan pengendara pribadi, jalan tol menghambat pembangunan transpotasi publik. Tapi, Menteri PU Djoko Kirmanto berpendapat, proyek tol itu justru untuk menambah panjang jalan di Jakarta yang masih kurang. Kepala Badan Pengelola Jalan Tol Achmad Gani Ghazali menimpali, membengkaknya jumlah kendaraan bukan karena penambahan jalan, tapi kenaikan pendapatan masyarakat.Tampaknya, perseteruan masih akan berlanjut? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dadan M. Ramdan