Gudang Garam (GGRM) Mencoba Bertahan di Tengah Kenaikan Cukai Rokok



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Gudang Garam Tbk (GGRM) masih mencoba mempertahankan bisnis rokoknya di tengah kenaikan cukai yang terus-menerus terjadi.

Pada semester I-2022, pendapatan GGRM sebenarnya tumbuh 1,82% secara tahunan alias year on year (YoY) menjadi Rp 61,67 triliun. Sementara dari sisi volume, penjualan rokok Gudang Garam turun 8,1% menjadi 41,9 miliar batang seiring efek persaingan di industri rokok nasional.

Penjualan rokok GGRM didominasi oleh Sigaret Kretek Mesin Full Filter (SKM FF) sebesar 36,9 miliar batang atau 87,9% dari total penjualan rokok GGRM di paruh pertama 2022. Berikutnya, penjualan Sigaret Kretek Tangan (SKT) GGRM tercatat sebesar 4,3 miliar batang (10,2%) sedangkan Sigaret Kretek Mesin Low Tar Nicotine (SKM LTN) menyumbang penjualan sebesar 0,8 miliar (1,9%).


Di sisi lain, GGRM harus menanggung biaya pokok penjualan yang tergolong besar yakni sebanyak Rp 56,54 triliun di semester I-2022 atau naik 4,4% dibandingkan semester satu tahun lalu.

Baca Juga: Penyerapan Capex Sido Muncul (SIDO) di Semester I-2022 Masih di Bawah Rp 100 miliar

Direktur dan Sekretaris Perusahaan Gudang Garam Heru Budiman menyampaikan, dari total biaya pokok penjualan tersebut, sebanyak Rp 50,7 triliun di antaranya berasal dari potongan yang didominasi oleh cukai, kemudian disusul PPN dan pajak lainnya. Angka ini naik 10,7% dibandingkan total potongan GGRM di semester I-2021 lalu yakni sebesar Rp 45,8 triliun.

“Beban potongan cukai kami memang terus meningkat trennya. Tahun 2019 lalu masih Rp 68,2 triliun, kemudian naik jadi Rp 78,7 triliun pada 2020, dan naik lagi menjadi Rp 91,1 triliun,” ungkap Heru dalam paparan publik, Jumat (16/9).

Tingginya beban potongan cukai yang ditanggung GGRM tentu secara langsung menggerus gross margin emiten tersebut dari 10,6% pada semester I-2021 menjadi 8,3% pada semester I-2022. Hal ini juga menimbulkan efek domino pada penurunan net margin GGRM menjadi 1,6% di semester I-2022, sedangkan di semester satu tahun lalu perusahaan ini mencetak net margin sebesar 3,9%.

Lantas, laba bersih GGRM pada semester I-2022 hanya mencapai Rp 956 miliar atau anjlok 59,37% (YoY) dibandingkan semester pertama tahun sebelumnya.

Heru menilai, seluruh pelaku industri rokok besar terdampak oleh kenaikan cukai selama beberapa tahun terakhir. Namun, level dampak yang dirasakan oleh tiap perusahaan akan berbeda-beda.

Sebab, kenaikan cukai yang signifikan terdapat pada produk SKM, sedangkan kenaikan cukai pada produk SKT tidak begitu masif. Jadi, apabila kontribusi penjualan SKT lebih besar ketimbang SKM, maka produsen tersebut berpeluang memperoleh profitabilitas yang lebih optimum.

“Kebetulan, kontribusi penjualan SKT Gudang Garam hanya 10,2% di semester pertama lalu sehingga berpengaruh pada profitabilitas kami. Sebenarnya sulit untuk banding-bandingkan profit antar perusahaan, karena kondisi tiap perusahaan berbeda,” terang dia.

Manajemen GGRM mengaku, kenaikan cukai yang agresif tidak bisa diteruskan secara langsung kepada kebijakan kenaikan harga jual rokok di level konsumen akhir. GGRM pun tidak bisa serta merta menaikkan harga jual rokoknya karena daya beli masyarakat belum sepenuhnya stabil, khususnya pada kalangan menengah ke bawah.

Belum lagi, persaingan industri rokok cukup ketat. Biasanya, apabila para kompetitor belum menaikkan harga jual rokok, maka GGRM juga akan mempertahankan harga jual produk tersebut.

Baca Juga: Caturkarda Depo (DEPO) Hanya Serap Capex Maksimal 65% di Akhir 2022, Ini Alasannya

“Kalaupun harus naik, tidak bisa secara agresif dan harus tunggu momen yang tepat. Memang di atas kertas kami bisa untung, tapi risikonya kami kehilangan konsumen karena mereka akan beralih ke rokok yang lebih terjangkau,” ungkap Heru.

Heru menyebut, pihaknya tidak memiliki gambaran terkait target kinerja operasional maupun pendapatan GGRM sampai akhir tahun nanti. Pasalnya, GGRM juga masih harus terus memonitor perkembangan kebijakan cukai rokok dari pemerintah.

Terlepas dari itu, Manajemen GGRM berharap kondisi ekonomi Indonesia akan tetap stabil sehingga daya beli masyarakat bisa kembali pulih pasca pandemi Covid-19. Dengan demikian, permintaan terhadap produk rokok dapat terus terjaga sekalipun ada risiko naiknya cukai di masa depan.

“Kami yakin industri rokok tidak akan mati, karena para perokok itu selalu ada,” tandas Heru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi