KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang tahun 2020, PT Gudang Garam Tbk (
GGRM) berhasil membukukan kenaikan pendapatan. Sayangnya, hal ini tidak diiringi dengan kinerja laba bersih GGRM yang justru mencatatkan penurunan. Emiten produsen rokok ini pada tahun lalu berhasil membukukan pendapatan Rp 114,47 triliun, atau naik 3,57% dari pendapatan 2019 yang sebesar Rp 110,52 triliun. Sementara dari bottom line, GGRM mencatatkan laba bersih Rp 7,65 triliun atau turun 29,7% dari Rp 10,88 triliun pada 2019. Analis Samuel Sekuritas Yosua Zisokhi mengatakan, kinerja GGRM pada tahun lalu sebenarnya sejalan dengan proyeksi Samuel Sekuritas. Ia bilang, pendapatan bisa naik seiring perusahaan rokok yang juga harus menaikkan harga jual rokoknya karena adanya kenaikan tarif cukai. Namun kenaikan harga berimbas pada turunnya volume penjualan.
“Hal ini pada akhirnya membuat GGRM menahan agar kenaikan harga tidak terlalu tinggi juga, supaya volume tidak turun dalam. Di sisi lain, kenaikan cukai yang tinggi membuat margin keuntungan berkurang, oleh sebab itu, kenaikan cukai yang menjadi penyebab utama laba bersih GGRM turun,” kata Yosua ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (29/4).
Baca Juga: Apa kabar Bandara Kediri yang dibangun Gudang Garam? Pada tahun ini, pemerintah kembali memberlakukan kenaikan cukai rokok, dengan rata-rata kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12,5%. Kenaikan rata-rata tarif CHT ini menurun dibandingkan dengan kenaikan di tahun 2020 yang mencapai 23%. Yosua menilai, walaupun kenaikan cukai rokok pada tahun ini lebih rendah, tetap saja akan membebani kinerja GGRM pada tahun ini. Menurutnya, saat ini salah satu sentimen negatif yang membayangi kinerja GGRM adalah kondisi pandemi Covid-19 yang masih berlangsung sehingga membuat daya beli masyarakat belum pulih. “Jika GGRM memutuskan meningkatkan harga jual rokok terlalu tinggi agar margin keuntungan terjaga, ini malah bisa membuat volume penjualan drop. Pasalnya, konsumen akan lebih memilih rokok yang lebih murah,” terangnya. Yosua menambahkan, secara struktural, harga rokok perusahaan besar tier 1, seperti GGRM akan jauh lebih tinggi dibanding harga rokok tier 2 &3. Hal ini seiring perbedaan beban cukai yang harus dibayar juga lebih tinggi, bisa mencapai 50% lebih. Sementara Kepala Riset Henan Putihrai Sekuritas Robertus Yanuar Hardy mengatakan, GGRM pada tahun ini tidak akan membagikan dividen. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, GGRM secara rutin membagikan dividen lebih dari Rp 5 triliun kepada para pemegang saham. Ia bilang, GGRM justru memilih untuk mengalokasikan cash yang dimiliki untuk memangkas pinjaman bank jangka pendeknya, dari Rp17,22 triliun pada Desember 2019, menjadi hanya Rp 6 triliun per Desember 2020. “Aksi tersebut membuat GGRM menghemat biaya pembayaran bunga tahunan hingga Rp 202,6 miliar. Walau telah melakukan upaya menjaga profitabilitas lewat aksi tersebut, kami melihat tetap saja pertumbuhan margin GGRM akan tetap terbatas,” ujar Robertus. Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan kenaikan pajak cukai rokok pada tahun ini. Apalagi, kenaikan cukai Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang merupakan porsi terbesar penjualan GGRM mencapai 16,9% pada tahun ini. Angka tersebut sebenarnya jauh lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 23,39%. Oleh karena itu, Robertus meyakini, walaupun kinerja GGRM masih tertekan, setidaknya pada tahun ini tidak akan seberat tahun lalu.
Baca Juga: Cukai Masih Menekan Emiten Rokok, Simak Rekomendasi Saham HMSP, GGRM, dan WIIM Senada, Yosua juga melihat kinerja GGRM pada tahun ini akan mengalami perbaikan dibanding tahun lalu, namun belum akan kembali ke pencapaian pada tahun 2019. Ia bilang, ke depan ada dua sentimen yang bisa mengangkat kinerja GGRM. Pertama, pulihnya daya beli masyarakat, sehingga kurva permintaan rokok menjadi seperti semula, yaitu inelastis, atau kenaikan harga jual rokok tidak membuat harga rokok kembali turun. “Yang kedua, perubahan tarif cukai atau struktur cukai, sehingga beban yang harus ditanggung tidak terlalu besar. Atau tidak ada level perbedaan beban yang signifikan, antara produsen rokok tier 1 dan tier di bawahnya,” tuturnya.
Sementara Robertus memandang langkah yang bisa dilakukan GGRM untuk memulihkan profitabilitasnya adalah dengan meningkatkan efisiensi biaya-biaya pokok dan operasional. Pada tahun ini, Robertus memproyeksikan pendapatan GGRM akan mencapai Rp 119,22 triliun dengan laba bersih Rp 8,08 triliun. Dengan mempertimbangkan pertumbuhan kinerja tahun ini yang terbatas, serta ketidakpastian dalam pembagian dividen, Robertus memberikan rekomendasi hold untuk GGRM dengan target harga Rp 36.550 per saham. Sementara Yosua dan analis RHB Sekuritas Michael Wilson Setjoadi juga sama-sama merekomendasikan hold dengan target harga masing-masing Rp 36.550 dan Rp 36.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi