Guru Besar IPB: Soal ACFTA, pemerintah terlalu berani mati



Sejak Maret 2010 lalu, barang-barang asal China bisa bebas mengalir ke Indonesia. Banjir produk Negeri Tembok Raksasa ini terjadi akibat Indonesia menekan kesepakatan ASEAN–China Free Trade Agreement (ACFTA). Konsumen memang senang disuguhi berbagai barang nan murah meriah itu. Sebaliknya, industri dalam negeri menjerit lantaran produk mereka kalah bersaing di “rumah” sendiri.

Inilah akibat dari keputusan Pemerintah RI yang berani membuka pintu dagang sebebas-bebasnya tanpa mempersiapkan road map pembangunan industri dalam negeri di tengah iklim persaingan di pasar bebas yang semakin keras.

Nah, guna melihat beragam persoalan ACFTA selama satu tahun, jurnalis KONTAN Epung Saepudin dan Herry Prasetyo mewawancarai ahli perdagangan internasional Rina Oktaviani yang juga guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Inilah petikannya:


KONTAN: Bagaimana evaluasi Anda terhadap ACFTA yang sudah berlangsung selama satu tahun lebih ini?RINA: Kalau kita lihat performa industri, terutama industri pengolahan, angkanya memang tidak bagus alias stagnan. Terutama tekstil dan produk alas kaki. Bahkan, ada yang negatif pertumbuhannya. Dalam ACFTA ini, China jelas diuntungkan karena mereka memiliki skala usaha besar, sehingga biaya produksi menjadi semakin murah. China bermain pada economies of scale. Di samping itu, China punya kebijakan tidak mengapresiasi mata uang yuan. Ketika China tidak mengapresiasi mata uangnya, berarti mata uang itu cenderung terdepresiasi dari nilai sesungguhnya. Produk barang dia menjadi lebih murah, sehingga mampu bersaing.

KONTAN: Kebijakan itu menguntungkan atau tidak?RINA: Dalam jangka pendek China memang ingin menguasai pasar dunia. Tapi, dalam jangka panjang China juga rugi. Kalau negara lain pertumbuhan ekonominya turun, semua negara defisit terhadap China, berarti daya beli negara itu juga turun. China jelas dirugikan.

KONTAN: Lalu, bagaimana posisi Indonesia dalam ACFTA sekarang ini?RINA: Indonesia ini footloose industry. Dalam arti intermediate goods kita lebih banyak impor. Kalau tidak dibarengi efisiensi di tingkat produksi, itu akan mengurangi daya saing di pasar internasional karena harga barang kita di pasar akan lebih mahal dari negara lain.

KONTAN: Lebih jelas soal footloose industry itu?RINA: Industri yang bergantung pada industri intermediate impor. Harus impor dari luar. Kan, ada banyak komponen yang tetap harus diimpor. Misalnya di industri elektronik.

KONTAN: Bagaimana hitungan ACFTA ini sebenarnya?RINA: Skenarionya, kan, tarif nol persen untuk perdagangan. Dari data yang ada, dari ACFTA itu, kesejahteraa Indonesia meningkat hanya 0,12. Semua diuntungkan, tapi lebih untung China dibanding negara-negara ASEAN lain. Indonesia itu bisa dikatakan tidak menikmati.

KONTAN: Apa bukti kekalahan kita?RINA: Contoh kecil kita kalah bersaing, misalnya, di Arab Saudi. Biasanya kita produksi tasbih, topi, sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang sudah China semua.

KONTAN: Aksesori pun dikuasai China?RINA: Kalau Anda pergi ke toko suvenir, itu made in China semua. Dari sisi konsumen memang diuntungkan karena dapat harga murah. Dari sisi produsen, ini tantangan untuk terus berinovasi dan meningkatkan produktivitas.

KONTAN: Di Indonesia, kan, ada persoalan inefisiensi?RINA: Dari sisi daya saing, tidak terjadi peningkatan produktivitas. Bahkan, di industri tertentu tidak terjadi kenaikan produktivitas, sudah sunset industry. Menyeramkan.

KONTAN: Industri mana?RINA: Industri tekstil, alas kaki, kertas, industri kilang minyak. Peningkatan produktivitasnya kecil.Saya pernah bandingkan tabel input output dari 1995 sampai 2005, dari koefisien teknologi. Perubahannya kecil. Dari struktur perilaku dan kinerja, tidak banyak berubah.

KONTAN: Artinya, industri yang ada tidak berkembang, dan tidak banyak berperan?RINA: Kalau kita lihat lagi, analisis penyebaran industri, tidak begitu banyak juga berubah. Peran industri terhadap ekonomi nasional, terhadap pendapatan, terhadap tenaga kerja, ini tidak banyak berubah juga. Bisa kita katakan tidak ada perubahan signifikan sejak tahun 1990.

KONTAN: Lalu, mengapa pemerintah nekat ikut ACFTA? RINA: Pemerintah terlalu berani mati. Ini, kan, sudah ditandatangani sepuluh tahun lalu. Mestinya siap sedia sejak 10 tahun lalu karena tidak diterapkan tiba tiba.

Selengkapnya di Tabloid KONTAN, edisi 11-17 April 2011.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can