Hadapi defisit migas, pemerintah perlu transisi energi secara sistemik



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Presiden Joko Widodo pada Senin (8/7) menegur keras Menteri ESDM dan Menteri BUMN. Hal ini berkaitan dengan defisit neraca perdagangan periode Januari-Mei 2019 sebesar US$ 2,14 MIliar.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah dalam siaran persnya mengatakan, perlu adanya transisi energi secara sistemik dan konsisten.

Menurut catatannya, konsumsi minyak nasional mengalami rata-rata peningkatan 2% sejak 2005 hingga 2018, tetapi penemuan cadangan dan kegiatan produksinya turun 1,5% dan 2,6%.


Produksi migas (lifting) dia perkirakan akan terus turun sekitar 4% per tahun. Menurutnya, hal ini disebabkan salah satunya karena sumber daya migas yang semakin turun. Sementara, investasi pada sumur baru berjalan lambat, jadi rentang waktu antara eskplorasi dan produksi juga semakin jauh.

Maryati menganggap Indonesia belum memiliki roadmap yang jelas dan implementasi energi yang belum konsisten. Hal ini menyebabkan defisit fisikal masih ditanggapi dengan pendekatan reaksi ekspor-impor.

Menanggapi defisit neraca perdagangan, Maryati mengharapkan pemerintah mampu mengendalikan impor minyak mentah dan BBM. Dia berharap pemerintah tidak hanya menaikkan impor non-migas, tetapi impor minyak juga perlu dikendalikan , dikurangi, dan penggunaannya harus semakin efisien.

“Jika menaikkan BBM bukanlah pilihan tepat bagi pemerintah, maka perlu dijalankan strategi transisi energi dan ekonomi secara makro, dari energi fosil ke energi rendah karbon,” tegasnya.

Maryati menambahkan bahwa strategi transisi energi perlu dikonsepsi secara integral, sistemik, dan konsisten. Strategi ini perlu dimulai dari pengubahan energi minyak ke energi terbarukan.

Dia memberikan contoh misalnya dengan menggalakkan produksi sumber daya non-fossil, mengadakan transportasi publik yang ramah lingkungan, hingga menciptakan regulasi yang mendukung iklim investasi pengembangan energi terbarukan.

“Pencapaian energy mix dari sumber energi baru saat ini baru sekitar 8% dari total target 23% di tahun 2025. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi keseriusan pemerintah dalam memajukan dan melakukan transisi energi terbarukan,”ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini