KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel mentah mendapat perlawanan dari sejumlah negara di dunia dan menggugat ke Organisasi Perdagangan Dunia atau Word Trade Organization (WTO). Pemerintah telah menyiapkan strategi untuk menghadapi gugatan larangan ekspor nikel mentah di WTO tersebut. Salah satunya dengan menggunakan kesepakatan Bali Compendium yang lahir dalam pertemuan G20 Trade, Investment and Industry Ministerial Meeting (TIIMM). Hal tersebut disampaikan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers Perkembangan Investasi 2022, Senin (26/9).
Bahlil mengatakan, dengan adanya Bali Compendium tersebut, maka satu negara dilarang untuk mengintervensi kebijakan investasi negara lain, khususnya dalam hal hilirisasi, sehingga dapat menghargai kebijakan di negara masing-masing. "Bali Compendium ini jalan tengah menuju secercah harapan agar negara lain tidak boleh terlalu mengintervensi kita. Karena dengan kesepakatan ini semacam ada pemahaman baru, ada kesepakatan baru yang dilakukan negara G20 untuk menghargai negara masing-masing," ujar Bahlil di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Senin (26/9).
Baca Juga: Hilirisasi Nikel Tetap Berjalan Meski Tuai Gugatan di WTO Menurut Bahlil, Bali Compendium membuat negara-negara bisa menghargai strategi investasi negara lain sehingga negara-negara di dunia tidak boleh menjadi penghalang bagi satu negara untuk melakukan hilirisasi, seperti yang dilakukan Indonesia dalam melarang eskpor nikel. Bali Compendium akan menjadi acuan bagi masing-masing negara dalam melaksanakan strategi untuk menarik investasi berkelanjutan. "Kita tidak akan mundur sedikit pun. Sekali pun kalian bawa ke pengadilan lebih tinggi dari WTO. Kalau ada pengadilan lain silakan saja, karena Indonesia ini sudah merdeka, tidak boleh kita diintervensi oleh negara manapun," tegas Bahlil. Bahlil menambahkan, sebenarnya upaya hilirisasi tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara maju anggota G20 pada era 1960-1970an. Namun disaat negara berkembang ingin melakukan hilirisasi langsung mendapat perlawanan dari negara lain. "Mereka berkembang dari negara berkembang ke maju boleh, tapi jalan kita dipotong, Saya sempat tanyakan ke mereka, kalau memang kalian tidak setuju, terus jalan apa yang kalian contoh kepada kami?," katanya. Saat ini, Indonesia sedang menunggu hasil akhir dari proses gugatan yang diajukan Uni Eropa di WTO. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa Indonesia kemungkinan kalah atas gugatan Uni Eropa di WTO tersebut.
Sementara itu, Deputi Bidang Kerjasama Penaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Riyatno enggan berkomentar apakah dokumen Bali Compendium ini akan menjadi senjata Indonesia dalam gugatan WTO. Namun yang pasti, kesepatan tersebut menjadi komitmen negara-negara G20 untuk mendukung hilirisasi di negaranya masing-masing. "Saya belum tahu (jadi senjata gugatan di WTO), negara maju dan negara berkembang sama-sama menyetujui bahwa hilirisasi nilai tambah disepakati. Artinya tidak ada larangan lagi," ujar Riyatno kepada awak media di Kantor Kementerian Investasi/BKPM, Senin (26/9).
Baca Juga: WTO Merevisi Penurunan Perkiraan Perdagangan Global Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat