Hadapi Kebijakan Anti Karbon, Begini Strategi Emiten Baja



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan anti karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)  akan diterapkan di Eropa mulai tahun 2025. Hal itu akan berdampak pada ekspor emiten baja. 

Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) Purwono Widodo mengatakan, penerapan CBAM secara efektif pada tahun 2026 untuk menjamin tidak terjadinya carbon leakage ke Eropa. Tetapi kebijakan ini menjadi hambatan bagi ekspor produk baja ke Uni Eropa. 

"Banyak negara seperti Jepang, Tiongkok, Korea masih keberatan dengan penerapan CBAM," kata Purwono pada Kontan.co.id, Senin (8/7).


Menurut Purwono, kebijakan tersebut akan berdampak signifikan pada ekspor produk ke UE. Hal itu karena setiap ton produk baja ke UE akan dikenakan sertifikat pajak karbon sekitar 390 euro.

"Hal itu mengakibatkan ekspor ke UE hampir tidak mungkin dilakukan," ujar dia.

Baca Juga: Steel Pipe (ISSP) Sebut Kebijakan CBAM Menjadi Peluang Untuk Tingkatkan Ekspor

Guna menghadapi kebijakan CBAM tersebut, Purwono menyebutkan KRAS telah mempersiapkan sejumlah strategi. KRAS memulai program reduksi emisi karbon dengan efisiensi energi dan material serta adopsi teknologi net zero emission. Selain itu KRAS juga mulai membidik tujuan pasar ekspor baru mulai tahun 2026 seperti Turki dan Afrika. 

"Target tahun ini adalah mendapatkan pasar baru ekspor dengan meningkatkan efisiensi dan produktivitas dan secara bertahap menurunkan emisi karbon," ungkap dia. 

Head of Sustainability PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) Sheren Omega mengatakan, meski mayoritas penjualan baja masih berada di pasar domestik, kebijakan CBAM dipastikan akan mempengaruhi target ekspor di masa mendatang. Terutama karena peraturan ini akan diterapkan pada tahun 2025.

"Menurut kami, aturan CBAM ini akan berdampak pada penjualan ekspor, terutama ke Eropa. Meskipun pangsa pasar GRP untuk ekspor hanya sekitar 5%, dibandingkan dengan pangsa domestik yang mencapai 95%, kami sebagai pelaku industri baja harus mulai mengantisipasi penerapan kebijakan CBAM yang akan dilaksanakan pada tahun 2026," ungkap dia. 

Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Sebut Kebijakan CBAM Akan Menghambat Ekspor Baja

Untuk mengatasi efek samping dari CBAM, Sheren menyatakan bahwa saat ini GGRP tengah mengajukan sertifikasi Environmental Product Declaration untuk pasar Eropa sebagai bentuk transparansi data. Selain itu Sheren juga menjelaskan GGRP telah melakukan beberapa langkah untuk menekan tingkat karbon dalam produk baja yang dijual di pasar lokal.

"Kami telah menerapkan beberapa langkah inisiatif hijau di perusahaan. Antara lain, kami telah menggunakan Electric Arc Furnace, yang menghasilkan emisi karbon lebih rendah dibandingkan dengan Blast Furnace," jelasnya. 

Sementara itu, PT Steel Pipe Industry of Indonesia (ISSP) menyebutkan penerapan kebijakan antikarbon Uni Eropa dapat menjadi peluang untuk meningkatkan ekspor. Johanes W. Edward, Corporate Secretary & Investor Relations ISSP mengatakan, kebijakan CBAM memang sudah disampaikan jauh-jauh hari. Meski begitu dampaknya belum akan dirasakan oleh ISSP karena hingga saat ini belum ada ekspor ke Eropa. 

"Namun kami justru melihat CBAM ini akan menjadi peluang peningkatan ekspor," ujar Johanes.

Baca Juga: Analis Sebut Kebijakan CBAM Berdampak pada Kinerja Emiten Baja

Johanes menjelaskan saat ini ISSP telah mempersiapkan diri terkait kebijakan tersebut. ISSP sudah mulai mengumpulkan data jejak karbon dari para pemasok dan menghitung jejak karbon dari operasi pabrik. 

"Persiapan inilah yang nantinya akan menjadi peluang, dimana pasti akan ada pemain yang belum siap, sedangkan kami sudah siap jadi kami bisa mengambil pasarnya," ujarnya.

Selain itu ISSP juga tengah melakukan identifikasi jejak karbon pada tiap produk yang beredar. Selain itu juga tengah mempersiapkan langkah-langkah pengurangan karbon. 

Dengan begitu Johanes optimis, ISSP tahun ini dan ke depannya masih memiliki prospek yang cerah. Ia pun melihat serapan pasar hingga saat ini masih cukup baik. Johanes juga menyebutkan Porsi ekspor ISSP ke Amerika dan Kanada adalah 5% dari total penjualan global, sementara 95% adalah untuk pasar domestik.

"Kami terus menggencarkan marketing untuk meningkatkan serapan produk kami," ucapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati