KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) perlu segera diselesaikan mengingat kebutuhan energi akan terus bertambah sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, pemerintah telah menargetkan produksi migas pada 2030 sebesar 1 juta barel minyak bumi dan 12 miliar kaki kubik gas bumi per hari. Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, urgensi RUU Migas diperlukan untuk memberikan sinyal positif bagi dunia usaha dan dalam rangka membenahi investasi serta memperbaiki pengelolaan industri hulu migas nasional. Ada tiga aspek yang menjadi kunci dan saling terkait dalam rangka perbaikan tersebut, yaitu kepastian hukum, kepastian fiskal dan keekonomian serta kemudahan birokrasi atau perizinan.
Baca Juga: Pertamina Kantongi Harga 35% Saham Shell di Blok Masela, Akhir April Sudah Deal! “Akar permasalahannya berada pada ketiga aspek tersebut di level undang-undang,” ujar Pri dalam acara Media Briefing ke 2 IPA Convex 2023, Senin (10/4). Ditambahkan Pri, Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001) yang masih digunakan saat ini telah meniadakan keistimewaan dalam pengelolaan migas saat ini, di anatara prinsip Assume and Discharge, pemisahan PSC dengan Keuangan Negara serta Single Door Bureaucracy. Menurut dia, ketentuan pada UU Migas No 22 Tahun 2001, pengelolaan keuangan kontrak PSC masuk dalam bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak merupakan instansi pemerintah. Hal itu berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti persepsi yang cenderung negatif terkait besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), kaitan cost recovery dengan APBN, serta tereksposenya para pihak dalam kontrak PSC dengan hukum karena kerugian investasi migas dapat dianggap merugikan negara. Selain itu, pasal 31 UU Migas No 22 Tahun 2001 mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge. Pri mengakui, memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu. Namun, secara teknis dan administrasi hal itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia. Menurutnya, kondisi industri hulu migas saat ini disebut sedang mengalami kondisi sunset. Tren pencapaian kinerja dan signifikansi sektor hulu migas terus menurun. Sebagai informasi, cadangan minyak bumi Indonesia yang terbukti saat ini tercatat hanya sekitar 3,95 miliar barel dengan rata-rata produksi sekitar 600.000 barel per hari. “Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya sunset industry, yaitu menemukan lapangan besar migas dan lapangan migas yang sudah terbukti tersebut harus segera berjalan. Agar berjalan, tidak bisa dikerjakan secara business as usual. Untuk itu, RUU Migas diharapkan bisa mengakomodir permasalahan pada industri hulu migas saat ini,” ujar dia.
Baca Juga: Komisi VII Janji akan Segera Selesaikan RUU EBET dan RUU Migas Sementara itu, anggota Tim Energi Bimasena, Suyitno Patmosukismo menyampaikan, Undang-Undang Migas yang ada saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi sektor migas, apalagi adanya era transisi energi dan target produksi migas 2030. Untuk itu, RUU migas harus disegerakan guna meningkatkan kembali peran industry migas bagi pertumbuhan ekonomi seperti pernah ada sebelumnya. “Sektor hulu migas nasional pernah memiliki masa jaya sekitar 1972 hingga 1997. Pada periode tersebut, Indonesia tercatat memiliki cadangan minyak terbukti hingga 11,6 miliar barel lebih, dengan rata-rata produksi mencapai 1,3 juta barel minyak bumi per hari,” kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi