KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi Indonesia pada tahun ini menghadapi tantangan baru. Tren pemulihan ekonomi yang ditunjukkan pada awal 2022 dihadapkan pada peningkatan risiko global yang menjalar ke domestik sehingga berpotensi menahan laju pemulihan ekonomi. Instititue for Development of Economics and Finance (Indef) meramal pemulihan ekonomi pada semester kedua 2022 berpotensi tertunda akibat eskalasi tantangan global yang tidak kunjung berakhir. Hal ini karena pemulihan ekonomi yang sedang berjalan menghadapi tantangan risiko global yang menjalar ke domestik pada semester kedua 2022. Berdasarkan Kajian Tengah Tahun Indef 2022, ketegangan politik akibat invasi Rusia ke Ukraina juga berdampak cepat dalam mendisrupsi sisi suplai dan mengganggu rantai pasok global. Alhasil, hal ini mendorong peningkatan inflasi global dan lonjakan harga komoditas pangan serta energi.
Baca Juga: Laju Inflasi Juli 2022 Berpotensi Menurun Sementara di sisi domestik, masalah klasik masih terus menghampiri sendi-sendi ekonomi bangsa. Mulai masalah lonjakan harga pangan dan energi, dilema fiskal dan moneter hingga masih lemahnya produktivitas perekonomian. Dengan fenomena tersebut, Indef menyarankan pemerintah untuk melakukan langkah taktis dan fundamental.
Pertama, meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri dengan cara pemberian insentif petani untuk meningkatkan kualitas hasil pangan, menjalin kemitraan atau integrasi dengan industri di sisi hilir. "Selain itu pendampingan dan pemberdayaan petani pada pertanian presisi, digitalisasi rantai nilai pangan serta penggunaan teknologi hasil pertanian," dikutip dari keterangan resmi Kajian Tengah Tahun (KTT) Indef 2022, Minggu (10/7).
Baca Juga: Ekonom BCA Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Semester II-2022 Bisa Capai 4,9% Kedua, untuk memupuk kemandirian fiskal, perlu dilakukan
refocusing dan peningkatan kualitas belanja APBN dengan menunda atau membatalkan program dan proyek yang tidak relevan dan bukan yang mendesak, seperti pembangunan Ibu Kota Baru. Hal ini bertujuan agar mengoptimalkan peran APBN sebagai
shock absorber di tengah dinamika global.
Ketiga, peningkatan penggunaan produk dalam negeri pada sektor industri prioritas dan UMKM. Menurut Indef, peningkatan produk dalam negeri dapat diinisiasi oleh pemerintah melalui kebijakan pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah melalui komponen belanja barang dalam APBN. "Selain itu, pengadaan barang untuk BUMN juga dapat diarahkan untuk mengoptimalkan penggunaan barang dengan local content yang cukup tinggi," tulis Indef.
Keempat, percepat industrialisasi melalui hilirisasi sumber daya alam (SDA), salah satunya dengan mendorong peran investasi. Hal ini penting untuk memastikan Indonesia bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah di masa depan.
Baca Juga: Indef Meramal Pemulihan Ekonomi Semester Kedua 2022 Bisa Tertunda Kelima, percepat realisasi kerjasama perdagangan dengan negara non tradisional agar kinerja ekspor tidak tergantung oleh pasar tradisional. Hal ini penting untuk mendukung kinerja ekspor. Selan itu, pemerintah juga perlu mengembangkan produk non tradisional untuk menjadi jawara baru untuk pasar ekspor.
Keenam, memperkuat pertahanan pasar domestik dari serbuan impor yang tidak produktif bagi perekonomian. Menurutnya, hal ini dapat dilakukan dengan cara menyusun
non-tariff measures yang lebih beragam.
Ketujuh, Indef juga menyarankan pemerintah untuk memperkuat investasi pada sektor hulu migas untuk meningkatkan produksi migas, termasuk mempertimbangkan skema investasi
cost recovery yang bisa dioptimalkan.
Kedelapan, mempercepat agenda komersialisasi hasil riset dan inovasi yang dikembangkan oleh peneliti dalam negeri dengan memprioritaskan penggunaan teknologi domestik oleh pelaku usaha. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati