Penggemar makanan kecil tradisional China ini cukup banyak. Karena itu potensi pasarnya cukup menggiurkan. Kunci sukses berbisnis makanan yang khas ini adalah kemampuan untuk menyediakan menu beragam dengan kualitas rasa prima.Makanan ringan seperti siomay, bakpao, lumpia, dan pangsit sudah lama dikenal dalam dunia kuliner Indonesia karena rasanya yang pas dengan lidah kita. Sebenarnya, makanan-makanan tersebut merupakan bagian dari jenis makanan kecil asal China yang biasa disebut dim sum. Variasinya sangat banyak dan biasa tersaji di restoran china. Dim sum biasa disajikan dalam krakat atau kukusan bambu. Camilan sarapan ala China Selatan ini biasa dijual per krakat berisi dua–empat dim sum. Lantaran banyak penggemar, peluang usaha dim sum pun menganga lebar. Sekarang penjual dim sum bertebaran. Maklum, menurut para pelakunya, keuntungan berjualan dim sum tak kalah lezat dari rasanya. Tengok saja pengalaman Sarono, pemilik Kurnia Dim Sum di Jakarta. Omzet Surono dari bisnis ini sudah mencapai Rp 40 juta per bulan. Setelah dipotong biaya operasional, laba bersih yang ia bawa pulang sekitar 40% dari omzet. Mantan koki restoran ini sudah merintis usaha dim sum sejak 1994. Berawal dari kantin kecil di sebuah sekolah dan tenda di Senayan, kini Sarono memiliki kedai di food court Gedung Panin, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Ia juga membuka katering dim sum.Rezeki mengalir pula ke Dim Sum Kampoeng, restoran yang bertengger di Jalan Pajajaran 43B, Bogor, Jawa Barat. Baru berjalan kurang dari dua tahun, restoran ini sudah mampu meraup omzet rata-rata per bulan Rp 25 juta–Rp 30 juta. Adapun margin keuntungan sekitar 20%–30% dari omzet. “Semula kami memprediksi balik modal dalam lima tahun, tapi ternyata setelah setahun sudah kembali modal,” kata Okki Ariana, satu dari empat pemilik Dim Sum Kampoeng.Zuhri Ardiyanto pun sudah mencecap legitnya berbisnis dim sum. Mirip dengan kisah sukses Sarono, Zuhri sebelumnya karyawan di kedai dim sum yang memutuskan membuka usaha sendiri. Dia pernah mendirikan kedai bernama Raja Dimsum di sebuah mal di Bandung pada tahun 2006 dengan modal Rp 10 juta. Usahanya berkembang pesat hingga mencapai omzet Rp 30 juta per bulan. “Saya melepas kedai itu di tahun 2009 karena ada yang bersedia membeli dengan harga tinggi,” papar Zuhri. Dia lantas mendirikan lagi kedai dim sum di mal berbeda, masih di Bandung. Saat ini, usahanya sudah berjalan setahun. Omzetnya rata-rata Rp 9 juta per bulan dengan laba bersih sekitar Rp 3 juta.Ada juga Yenny yang baru menjajal usaha ini beberapa bulan lalu. Dia melihat peluang besar untuk membuka kedai dim sum di Sidoarjo karena selama ini kedai sejenis belum ada di Kota Lumpur itu. Alhasil, meski baru enam bulan membuka usaha, Yenny sudah mengantongi omzet sekitar Rp 10 juta dan mengiris laba bersih Rp 4 juta sebulan.Menurut Okki, bisnis makanan dim sum masih sangat menjanjikan. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat itu.Pertama, variasi makanan sangat banyak sehingga terbuka kesempatan bagi penjual ber-inovasi terus-menerus. Kedua, laba bisa mencapai 20% dari pendapatan. Ketiga, pemain di bisnis ini belum terlalu ramai sehingga persaingan tidak terlalu ketat.
Haiya, ini kesempatan berbisnis camilan China
Penggemar makanan kecil tradisional China ini cukup banyak. Karena itu potensi pasarnya cukup menggiurkan. Kunci sukses berbisnis makanan yang khas ini adalah kemampuan untuk menyediakan menu beragam dengan kualitas rasa prima.Makanan ringan seperti siomay, bakpao, lumpia, dan pangsit sudah lama dikenal dalam dunia kuliner Indonesia karena rasanya yang pas dengan lidah kita. Sebenarnya, makanan-makanan tersebut merupakan bagian dari jenis makanan kecil asal China yang biasa disebut dim sum. Variasinya sangat banyak dan biasa tersaji di restoran china. Dim sum biasa disajikan dalam krakat atau kukusan bambu. Camilan sarapan ala China Selatan ini biasa dijual per krakat berisi dua–empat dim sum. Lantaran banyak penggemar, peluang usaha dim sum pun menganga lebar. Sekarang penjual dim sum bertebaran. Maklum, menurut para pelakunya, keuntungan berjualan dim sum tak kalah lezat dari rasanya. Tengok saja pengalaman Sarono, pemilik Kurnia Dim Sum di Jakarta. Omzet Surono dari bisnis ini sudah mencapai Rp 40 juta per bulan. Setelah dipotong biaya operasional, laba bersih yang ia bawa pulang sekitar 40% dari omzet. Mantan koki restoran ini sudah merintis usaha dim sum sejak 1994. Berawal dari kantin kecil di sebuah sekolah dan tenda di Senayan, kini Sarono memiliki kedai di food court Gedung Panin, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Ia juga membuka katering dim sum.Rezeki mengalir pula ke Dim Sum Kampoeng, restoran yang bertengger di Jalan Pajajaran 43B, Bogor, Jawa Barat. Baru berjalan kurang dari dua tahun, restoran ini sudah mampu meraup omzet rata-rata per bulan Rp 25 juta–Rp 30 juta. Adapun margin keuntungan sekitar 20%–30% dari omzet. “Semula kami memprediksi balik modal dalam lima tahun, tapi ternyata setelah setahun sudah kembali modal,” kata Okki Ariana, satu dari empat pemilik Dim Sum Kampoeng.Zuhri Ardiyanto pun sudah mencecap legitnya berbisnis dim sum. Mirip dengan kisah sukses Sarono, Zuhri sebelumnya karyawan di kedai dim sum yang memutuskan membuka usaha sendiri. Dia pernah mendirikan kedai bernama Raja Dimsum di sebuah mal di Bandung pada tahun 2006 dengan modal Rp 10 juta. Usahanya berkembang pesat hingga mencapai omzet Rp 30 juta per bulan. “Saya melepas kedai itu di tahun 2009 karena ada yang bersedia membeli dengan harga tinggi,” papar Zuhri. Dia lantas mendirikan lagi kedai dim sum di mal berbeda, masih di Bandung. Saat ini, usahanya sudah berjalan setahun. Omzetnya rata-rata Rp 9 juta per bulan dengan laba bersih sekitar Rp 3 juta.Ada juga Yenny yang baru menjajal usaha ini beberapa bulan lalu. Dia melihat peluang besar untuk membuka kedai dim sum di Sidoarjo karena selama ini kedai sejenis belum ada di Kota Lumpur itu. Alhasil, meski baru enam bulan membuka usaha, Yenny sudah mengantongi omzet sekitar Rp 10 juta dan mengiris laba bersih Rp 4 juta sebulan.Menurut Okki, bisnis makanan dim sum masih sangat menjanjikan. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat itu.Pertama, variasi makanan sangat banyak sehingga terbuka kesempatan bagi penjual ber-inovasi terus-menerus. Kedua, laba bisa mencapai 20% dari pendapatan. Ketiga, pemain di bisnis ini belum terlalu ramai sehingga persaingan tidak terlalu ketat.