Pemerintah mengklaim memenangkan perundingan dengan Freeport. Akhir bulan lalu, secara tiba-tiba Freeport menyepakati seluruh tuntutan Indonesia. Yakni perubahan landasan hukum dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membangun smelter selambat-lambatnya bulan Oktober 2022, divestasi saham 51%, dan sistem pajak prevailing atau berubah-ubah sesuai ketentuan yang berlaku. Padahal sebelumnya Freeport masih membangkang agar divestasi tak lebih dari 30%, perpanjangan kontrak hingga 2041, dan sistem pajak nail down atau tetap sesuai kontrak. Titik temu soal empat poin tersebut terasa aneh. Sebab apabila menengok ke belakang, pemerintah acapkali memanjakan pembangkangan yang dilakukan Freeport. Pada PP No 1/2017, pemerintah akan memberikan relaksasi ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan apabila Freeport menyetujui IUPK, begitu juga peraturan turunannya seperti pada Permen ESDM No 5/2017. Berikutnya, belum sampai disepakati terkait dengan perubahan IUPK, pemerintah keburu memberikan izin ekspor tersebut sampai Oktober 2017. Padahal peraturan tersebut dianggap melanggar UU No 4/2009 yang melarang ekspor hasil tambang mineral sebelum dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri.
Ludwig Mies van der Rohe, seorang arsitek terkemuka Jerman, pernah berkata “God is in the detail”. Idiom tersebut sepertinya sangat cocok disematkan kepada Freeport. Memang di atas kertas kesepakatan tersebut menyiratkan kemenangan pemerintah. Namun, faktanya secara detail dan teknis memunculkan peluang Freeport untuk mengamankan kepentingannya. Pemerintah harus serius dalam memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi. Pertama, masalah teknis divestasi. Dalam PP No 1/2017, disebutkan bahwa divestasi akan diberikan pertama kepada pemerintah pusat, baru kemudian kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota, selanjutnya kepada BUMN dan BUMD. Disini yang jadi masalah, sebab dengan kondisi defisit fiskal yang dipatok 2,92% terhadap PDB sangat tidak mungkin apabila pemerintah sendiri yang membeli saham divestasi. Selain itu, opsi kemungkinan divestasi oleh BUMN dan BUMD telat untuk dirumuskan. Sampai saat ini, belum ada keputusan pasti soal siapa yang bakal membeli saham divestasi Freeport. Pemerintah sendiri terlihat belum padu dalam menyelesaikan detail perundingan. Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementrian BUMN memiliki versi masing-masing terkait tugas pokok dan fungsi tentang detail perundingan Ingat papa minta saham Terbaru, ketidakpastian muncul dari kemungkinan disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 4/2009 yang bisa rampung tahun ini. RUU tersebut melarang pemerintah untuk memberikan perpanjangan izin operasi apabila pemegang IUP belum aktif melaksanakan kegiatan pengolahan dan pemurnian. Poin RUU tersebut berbeda dengan hasil kesepakatan pemerintah dengan Freeport tentang perubahan menjadi IUPK dan kesempatan pembangunan smelter sampai tahun 2022. Kedua, soal penetapan harga saham dan kepastian pembangunan smelter. Freeport sebelumnya menawarkan saham senilai US$ 65,7 miliar atau Rp 85 triliun untuk 41,36% saham. Tingginya nilai tersebut karena perhitungannya mencantumkan asumsi cadangan mineral terkandung sampai tahun 2041. Namun pemerintah tetap ngotot untuk tetap mempergunakan Permen ESDM Nomor 27/2013 yang menggunakan acuan penggantian investasi atau replacemet cost, yang diperkirakan tak lebih dari Rp 32 triliun. Yang perlu dipertimbangkan sebenarnya adalah tanpa bersepakat untuk divestasi 51%, kepemilikan lahan pertambangan akan menjadi milik Indonesia setelah kontrak Freeport habis pada tahun 2021 Padahal, tingkat kesulitan penambangan Grasberg semakin tahun semakin tinggi. Dampaknya adalah tingginya investasi modal yang diperlukan untuk menambang. Sebagai gambaran, dibutuhkan sekitar US$ 430 juta atau sekitar 61% dari total anggaran belanja modal. Belum lagi jika berbicara soal risiko. Artinya, berinvestasi di Freeport tidaklah semenarik yang dibayangkan. Harga saham yang ditetapkan tinggi oleh Freeport hanya strategi untuk dapat membagi risiko dengan pemerintah. Terlebih, selama ini Freeport selalu melaporkan kerugian sehingga tak sepeser pun dividen yang diperoleh pemerintah. Oleh karena itu, pengoperasian smelter sebenarnya dapat digunakan untuk melihat berapa potensi kandungan emas dan hasil tambang lainnya yang terkandung. Masalahnya, dari total rencana investasi Freeport untuk membangun smelter sebesar US$ 2,3 miliar sama sekali tak menunjukkan progres. Ketiga, ancaman moral hazard. Sebagai pengingat, tahun 2016 The Economist menyebut Indonesia sebagai negara nomor tujuh pada crony-capitalism index. Artinya, penyumbang terbesar kekayaan orang terkaya Indonesia berasal karena kedekatan dengan penguasa. Salah satu sektor kroni tersebut adalah industri sektor pertambangan dan energi. Bukan tak mungkin, alotnya perundingan yang terjadi soal detail divestasi justru akibat dari besarnya kepentingan para kroni tersebut. Lobi-lobi politik paska kesepakatan divestasi sepertinya lebih menguras energi ketimbang usaha dalam memperoleh kesepakatan tersebut.
Menolak lupa kasus “papa minta saham” divestasi Freeport masih berjalan. Sudah lebih dari satu tahun kasus tersebut masih ditingkat penyelidikan. Bahkan terancam ditutup dan tak akan dinaikkan ke tingkat penyidikan. Fakta ini sebagai pengingat, bahwa ancaman pemburu rente masih ada. Upaya pemerintah dalam memerdekakan Freeport memang harus diapresiasi. Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dirampungkan demi mewujudkan hajat tersebut. Belajar dari Republik Demokrasi Kongo, sebuah negara penghasil tembaga terbesar di Afrika justru berada di kubangan konflik perang saudara sejak negara tersebut merdeka. Contoh lain pertambangan Panguna di Papua Nugini yang menyulut konflik panjang sejak tahun 1988 sampai dekade akhir 90-an. Permasalahannya sama, yaitu rencana pemberian saham perusahaan penambang kepada pemilik lahan dan pemerintah. Fakta ini mengingatkan pemerintah agar serius memperhitungkan detail pasca kesepakatan Agustus lalu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi