BRASILIA. Warga Brazil mengelu-elukan seorang pahlawan baru. Ia seorang hakim yang mencetak sejarah baru dalam kasus korupsi negeri Samba. Hakim berkulit hitam pertama di Mahkamah Agung Brasil itu dengan tegas menghukum 25 orang politisi korup di lingkaran dalam Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Warga seringkali menghentikan Hakim Joaquim Barbosa di jalan untuk sekadar berterima kasih. Foto masa kecil sang hakim terpampang di mingguan terbesar Brasil dengan judul, “Anak Miskin yang Mengubah Brazil.” Barbosa telah membawa cahaya baru bagi pengadilan Brazil. Bulan lalu, ia memvonis bersalah orang-orang terdekat presiden Brazil dalam skandal pembelian suara yang terjadi 7 tahun silam.
Salah satu yang divonis adalah Jose Dirceu, yang menggunakan US$ 35 juta uang publik untuk menyuap anggota parlemen. Barbosa menghukum Dirceu 40 tahun penjara dengan vonis pencucian uang dan
fraud. Keputusan Barbosa sangat mengejutkan di negara yang pengadilannya terbiasa menghukum ringan politisi korup. Ia juga memunculkan apresiasi pada kaum minoritas yang menjadi pejabat publik di negara Amerika Latin terbesar itu. Kini, warga Brazil percaya bahwa hasil pengadilan itu menjadi titik balik sejarah korupsi dan kekebalan hukum di sana. “Sudah ada terlalu banyak toleransi atas kasus-kasus korupsi besar. Saya harap jasus ini akan membawa perbaikan bagi kehidupan publik kami,” kata Paulo Brossard, mantan hakim Mahkamah Agung Brazil. Hakim yang tegas dan anti-diskriminasi Dalam sidang yang memukau Brazil pada 9 Oktober lalu, Barbosa menyebut kasus ini sebagai penyerangan atas kas publik. Ia menuntaskannya dengan menyatakan bersalah 25 orang, termasuk Kepala Kepegawaian Lula. Presiden Lula sendiri belum terkena vonis. Walau begitu, ia telah mengalami kesulitan untuk menjelaskan apa yang terjadi. Ketika skandal itu terkuak di tahun 2005, Lula meminta maaf. Namun kemudian ia menyangkal adanya penyuapan. Sementara Partai Buruh yang berkuasa saat ini menuding pengadilan itu politis. “Pengadilan memvonus orang tanpa bukti,” kata Carlos Zarratini, anggota parlemen dari partai itu. Sebaliknya, media Brazil justru menjuluki persidangan itu sebagai ‘persidangan abad ini.’ Sejumlah fans Barbosa di media sosial bahkan menyarankannya untuk mencalonkan diri sebagai presiden di 2014. Barbosa adalah anak seorang tukang bangunan. Dulu ia bekerja sebagai tukang bersih-bersih dan juru ketik demi membiayai sendiri kuliah hukumnya. Pria berusia 58 tahun itu tak mengindahkan semua perhatian yang tertumpah ke dirinya. Ia lebih suka berdiskusi soal masalah rasial, diskriminasi, dan minimnya figur minoritas di posisi penting pemerintahan Brazil. “Diskriminasi terjadi di seluruh Brazil. Tak seorang pun membicarakannya. Saya melakukan yang sebaliknya. Saya menampilkannya ke publik,” ujarnya kepada Reuters dalam sebuah wawancara. Barbosa juga punya reputasi sebagai hakim yang berpendirian independen. Ia mendukung hak aborsi, penelitian sel punca, dan sering terlebat debat panas dengan koleganya. Suatu ketika dalam sebuah perdebatan tahun 2009, ia menuding hakim Gilmar Mendes merendahkan kredibilitas pengadilan Brazil dan minta lawan bicaranya menghargai pendapatnya. “Yang Mulia, ketika Anda bicara dengan saya, Anda tidak berbicara seperti kepada pembunuh bayaran yang Anda sewa di Mato Grosso,” tegurnya. Garis batas baru Polling menunjukkan bahwa mayoritas warga Brazil mendukung keputusan pengadilan dalam kasus penyuapan itu.
Negara berperekonomian terbesar keenam dunia itu kini memiliki kelas menengah yang terus tumbuh. Jumlah warga terdidiknya pun makin besar. Mereka ini tak menoleransi politisi korup. Di sisi lain, kekebalan hukum para penjahat kerah putih di Brazil sudah berlangsung berabad-abad. Fernando Collor de Mello, mantan presiden yang dipecat karena korupsi, kembali ke panggung politik dan sekarang memimpin senat di komite hubungan luar negeri. Konsultan politik Andre Cesar percaya bahwa Barbosa dan Mahkamah Agung telah menetapkan garis baru dalam pengadilan korupsi. “Pengadilan berkata masyarakat Brazil mesti berubah dan warga Brazil mulai melihat lembaga peradilannya di dalam cahaya baru.”
Editor: