JAKARTA. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) melaporkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) perkara korupsi mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan ke Komisi Yudisial. KPP menilai, hakim yang menangani perkara ini melanggar kode etik. Majelis hakim yang dilaporkan ke KY dalah Hakim Agung Suhadi, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Hakim Ad Hoc Abdul Latief, dan Hakim Ad Hoc Sofyan Martabhaya. Keempatnya merupakan hakim pemutus perkara Sudjiono Timan di tingkat PK. Selain itu, KPP juga melaporkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Soehartono yang menerima pengajuan PK oleh istri Sudjiono Timan itu. "Istri bukanlah ahli waris karena Sudjiono Timan masih hidup . Sampai saat ini tidak ada informasi atau keterangan yang menyebutkan dia telah meninggal," ujar Erwin Natosmal Oemar di gedung Komisi Yudisial, Jakarta (30/8). Erwin menuturkan jika upaya PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan selaku ahli waris tidak sesuai dengan prosedur dan cacat hukum. Hal ini bertentangan dengan pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Majelis hakim, menurut Erwin juga tidak memperhatikan status buron yang disandang Sudjiono Timan. "Mustahil hakim tidak mengetahui status buron, padahal informasi ini sering diberitakan oleh media cetak dan elektronik, juga pemberitaan resmi dari kejaksaan Agung dan interpol," lanjutnya. Pengaduan KPP ini diterima oleh Komisioner KY bidang Rekrutmen, Hakim Taufiqurrahman Syahuri. Menurutnya, aduan KPP sekaligus memperkuat dugaan kejanggalan dalam PK Sudjiono Timan. "Kami mengapresiasi aduan dari KPP. Aduan ini benar semua, ada beberapa proses prosedural yang dilanggar," ujar Taufiq. Sebelum menerima aduan, Komisi Yudisial sudah membentuk Tim Panel guna menyelidiki perkara ini. Sejauh ini tim panel telah melakukan validasi dan penelusuran awal. Selanjutnya, KY siap memanggil dua orang saksi yang mengerti dengan proses PK ini. Sebelumnya pada Desember 2004, majelis Kasasi Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono Timan. Sudjiono Timan diputus bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar US$ 67 juta, Penta Investment Ltd sebesar US$ 19 juta, KAFL sebesar US$34 juta dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan US$ 98,7 juta. Putusan ini sekaligus menganulir putusan PN Jakarta Selatan yang melepaskan Sudjiono. Namun, pada Januari 2012 Sudjiono melalui istrinya mengajukan upaya PK ke PN Jakarta Selatan. Akhirnya, pada 16 Juli 2013 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan permohonan PK Sudjiono.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hakim PK Sudjiono Timan dilaporkan ke KY
JAKARTA. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) melaporkan Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) perkara korupsi mantan direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan ke Komisi Yudisial. KPP menilai, hakim yang menangani perkara ini melanggar kode etik. Majelis hakim yang dilaporkan ke KY dalah Hakim Agung Suhadi, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, Hakim Ad Hoc Abdul Latief, dan Hakim Ad Hoc Sofyan Martabhaya. Keempatnya merupakan hakim pemutus perkara Sudjiono Timan di tingkat PK. Selain itu, KPP juga melaporkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Soehartono yang menerima pengajuan PK oleh istri Sudjiono Timan itu. "Istri bukanlah ahli waris karena Sudjiono Timan masih hidup . Sampai saat ini tidak ada informasi atau keterangan yang menyebutkan dia telah meninggal," ujar Erwin Natosmal Oemar di gedung Komisi Yudisial, Jakarta (30/8). Erwin menuturkan jika upaya PK yang diajukan oleh istri Sudjiono Timan selaku ahli waris tidak sesuai dengan prosedur dan cacat hukum. Hal ini bertentangan dengan pasal 263 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Majelis hakim, menurut Erwin juga tidak memperhatikan status buron yang disandang Sudjiono Timan. "Mustahil hakim tidak mengetahui status buron, padahal informasi ini sering diberitakan oleh media cetak dan elektronik, juga pemberitaan resmi dari kejaksaan Agung dan interpol," lanjutnya. Pengaduan KPP ini diterima oleh Komisioner KY bidang Rekrutmen, Hakim Taufiqurrahman Syahuri. Menurutnya, aduan KPP sekaligus memperkuat dugaan kejanggalan dalam PK Sudjiono Timan. "Kami mengapresiasi aduan dari KPP. Aduan ini benar semua, ada beberapa proses prosedural yang dilanggar," ujar Taufiq. Sebelum menerima aduan, Komisi Yudisial sudah membentuk Tim Panel guna menyelidiki perkara ini. Sejauh ini tim panel telah melakukan validasi dan penelusuran awal. Selanjutnya, KY siap memanggil dua orang saksi yang mengerti dengan proses PK ini. Sebelumnya pada Desember 2004, majelis Kasasi Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono Timan. Sudjiono Timan diputus bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar US$ 67 juta, Penta Investment Ltd sebesar US$ 19 juta, KAFL sebesar US$34 juta dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar Rp120 miliar dan US$ 98,7 juta. Putusan ini sekaligus menganulir putusan PN Jakarta Selatan yang melepaskan Sudjiono. Namun, pada Januari 2012 Sudjiono melalui istrinya mengajukan upaya PK ke PN Jakarta Selatan. Akhirnya, pada 16 Juli 2013 Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk mengabulkan permohonan PK Sudjiono.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News