Hakim politik semakin berkuasa di MK



JAKARTA. Hakim-hakim Konstitusi yang berasal dari partai politik kini semakin menancapkan dominasinya di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut terlihat dari putusan MK yang membatalkan UU MK yang berasal dari Perpu MK.

Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK mengatakan MK sebenarnya sebelumnya juga menguji materi undang-undangnya sendiri yakni UU Nomor 8 tahun 2011. Saat itu, hakim Harjono membuat pendapat berbeda (dissenting opinion).

"Pengujian undang-undang itu satu hakim MK melakukan dissenting opinion. Dia sampaikan harus hati-hati ketika MK menguji persoalan hakim konstitusi. Tapi dalam perkara kemarin tidak ada dissenting opinion," ujar anggota Koalisi, Yance Arizona, di YLBHI, Jakarta, Jumat (14/2/2014).


Yance pun mempertanyakan sikap Harjono karena tidak melakukan dissenting opinion. Ke depannya, lanjut dia, keadaan MK akan mengkhawatirkan karena Harjono akan pensiun bulan depan.

"Posisi Harjono kosong bulan depan, Akil Mochtar belum ada pengganti. Peluang hakim politik di MK terbuka lebar. Kita akan sulit bedakan MK sebagai lembaga peradilan dan MK sebagai lembaga politik karena dia didominasi latar belakang politik," kata dia.

Sekadar informasi, Mahkamah mengabulkan untuk seluruhnya uji materi (judicial review) Undang Undang No 4 tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua UU MK atau eks Perppu MK yang digugat forum pengacara konstitusi dan sejumlah dosen Fakultas Hukum Universitas Jember.

Menurut Mahkamah, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 24C ayat (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Dengan demikian, undang undang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Panel ahli dan majelis kehormatan hakim konstitusi tidak berlaku. (Eri Komar Sinaga)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan