KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing berkedok lingkungan yang menghalang-halangi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab, sepak terjang mereka bertentangan dengan semangat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berupaya keras menarik investasi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu merupakan rangkuman pendapat Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo, guru besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa, dan pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adinegara di Jakarta, Minggu (1/4).
“Persoalan LSM itu harus ada ketegasan Kementerian Dalam Negeri. Bagi LSM yang terindikasi mengganggu investasi harus ada teguran dan sanksi,” ujar Bhima Yudhistira mengomentari adanya LSM Greenpeace yang melakukan intervensi pengelolaan hutan di Papua. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah (Pemda) harus memiliki pandangan yang sama terkait soal investasi. Artinya, apapun yang dinilai menghambat investasi harus bisa diselesaikan antara pemerintah pusat dengan Pemda. “Papua ini banyak potensi yang bisa menarik investasi. Apalagi sekarang sudah ada jalan Trans Papua,” katanya. Jadi, lanjut Bhima, hambatan investasi yang disebabkan keberadaan LSM tersebut harus bisa diselesaikan Pemda kalau ingin investasi masuk ke Papua. “Jadi hambatan-hambatan itu disisir dan Pemda jadi panglimanya. Kalau pemerintah pusat tugasnya hanya marketing saja, sebab kalau nanti ada investor datang, dealnya dengan Pemda,” kata Bhima. Yanto Santosa menegaskan, bahwa LSM tidak boleh melakukan intervensi apapun terhadap pengelolaan hutan di Indonesia, termasuk di antaranya di Papua. “Tidak ada kewajiban pemerintah maupun pengusaha mendengarkan Greenpeace. Karena sebetulnya acuannya adalah RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi,” ujar Yanto Santosa. Lantaran acuannya adalah RTRW Provinsi, lanjut Yanto Santosa, maka hutan produksi bisa dialihfungsikan menjadi fungsi lain di luar fungsi kehutanan. Pengalihan fungsi tersebut, tentu saja harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah diatur oleh undang-undang. Namun demikian, perlakukan pembangunan kehutanan di Papua berbeda dengan yang ada di luar Papua. Di Papua, kata Yanto Santosa, masyarakatnya menganggap tanah dan hutan itu milik adat. “Zaman dulu pun ketika pemerintah memberikan HPH (hak pengelolaan hutan) harus ada urusan dengan adat. Walaupun negara sudah memberikan SK (Surat Keputusan) HPH atau hutan untuk produksi, tetap saja harus berurusan dengan adat,” katanya. Jadi, kata Yanto Santosa, LSM tidak memiliki hak sama sekali terhadap pengelolaan hutan di Papua. “Semua itu harus dikembalikan ke RTRW. Kalau dalam petanya itu masuk hutan produksi maka bisa dibuat HPH (Hak Pengelolaan Hutan), dibuat HTI (Hutan Tanaman Industri) atau bisa dibuat apapun juga selama mengikuti syarat-syarat yang telah ditentukan,” katanya. Menurut Yanto Santosa, jika LSM tersebut menghalangi upaya investor menanamkan modalnya di Papua, sebaiknya pemerintah tinggal memproses hukum saja. “Kalau ada pihak-pihak yang melarang, mengalangi, menghambat investasi, ya tinggal diproses hukum saja. Investasi ini kan membangun negara. Kita kan negara hukum. Apalagi sekarang ini kan pemerintahan Jokowi sedang giat-giatnya menggenjot investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya. Firman Subagyo juga berpendapat sama. Menurutnya, pemerintah harus bersikap tegas terhadap adanya LSM Greenpeace yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. “Dari dulu sudah saya katakan, pemerintah harus tegas. Karena itu sudah menginjak-injak kedaulatan negara kita. Karena hanya pemerintah yang boleh mengatur negara ini,” kata Firman. Sebagaimana dalam UU Kehutanan, kata Firman, hutan bisa dijadikan fungsi ekologis, sosial, maupun ekonomi. Ketiga fungsi tersebut harus berjalan seimbang. Apalagi kalau dilihat, ekonomi di Papua masih terbelakang. Karena itu tak ada salahnya apabila hutan di Papua dialihfungsikan pada kegiatan yang sifatnya terkait dengan ekonomi. “Nah agar perekonomian berjalan kan harus ada investasi,” kata Firman. Diketahui masyarakat Adat Airu Hulu, Kabupaten Jayapura, Papua menolak kehadiran LSM Greenpeace yang melakukan intervensi terhadap pengelolaan hutan di Papua. “Kami menolak Greenpeace dalam pengelolaan hutan masyarakat adat,” tegas Kepala Suku Wau, Mathius Wau dalam aksi bersama pekan lalu. Mathius mengatakan, penolakan kehadiran Greenpeace karena mereka selalu menghalangi kehadiran investasi di Papua. Intervensi Greenpeace dilakukan dengan alasan hutan yang akan dikelola investor masuk kawasan konservasi nasional dan perlindungan dunia internasional. Sebelumnya Greenpeace mendorong pemerintah dan tokoh masyarakat adat untuk duduk bersama memetakan masa depan hutan Papua agar tidak bernasib sama seperti hutan-hutan di Sumatera dan Kalimantan, yang rusak karena telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan kertas, serta pertambangan. Charles Tawaru, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, Greenpeace Indonesia telah melakukan aksi nyata di Papua sejak 2008, dengan melakukan pendampingan dan penguatan kepada masyarakat Kampung Manggroholo dan Sira yang dihuni penduduk asli Knasaimos. Menurut Charles, mayoritas lahan di Kampung Manggroholo-Sira dan sekitarnya merupakan areal berstatus hutan produksi konversi. Namun berkat adanya hak kelola dalam bentuk Hutan Desa, penduduk dapat bernapas lega karena terhindar dari ancaman konversi hutan menjadi area industri yang kerap merusak ekosistem.
Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengejar target program perhutanan sosial sebesar 12,7 juta hektar. KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam peraturan tersebut, perhutanan sosial terdiri dari berbagai macam skema diantaranya adalah hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan, hutan kemasyarakatan, hutan adat, dan hutan desa. Menurutnya, hutan adat merupakan skenario yang paling cocok diterapkan di Papua, karena masyarakat telah tinggal secara turun menurun dalam kurun ratusan tahun secara harmoni mengandalkan hutan sebagai sumber makanan, tempat tinggal, obat-obatan dan kelangsungan hidup budaya mereka. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri