JAKARTA. Jumlah fermentasi biji kakao masih minim dari kebutuhan industri pengolah kakao. Gara-garanya, tanaman kakao banyak yang terserang hama dan penyakit. Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Sulaiman Husain memaparkan, para petani kakao saat ini sedang menghadapi ganasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD). Penyakit dan hama ini menyerang tanaman kakao yang usianya sudah puluhan tahun. Serangan hama membuat biji kakao kempes dan lengket. Sehingga, produktivitas kakao petani turun dari rata-rata 879 kilogram (kg) per hektare (ha) menjadi sekitar 600 kg per ha. "Hanya 60% dari hasil produksi yang bisa difermentasi," ujar Sulaiman, Jumat (2/7). Selain karena hama dan penyakit, produksi kakao fermentasi juga rendah karena sebagian besar petani masih suka menjual kakao segar ketimbang kakao fermentasi. Alasannya, petani terhambat modal kerja. Pasalnya, fermentasi kakao butuh waktu seminggu. Sementara, para petani butuh dana untuk hidup sehari-hari serta untuk kebutuhan menyekolahkan anaknya. Tak heran jika para petani tergiur dengan penawaran sejumlah pedagang pengumpul yang jemput bola datang ke perkebunan mereka. Para pedagang pengumpul ini datang membawa kalkulator, timbangan dan uang tunai. Sehingga, petani tidak berfikir panjang untuk menjual hasil kebunnya. “Baru dijemur sehari, dua hari, sudah ada yang menawar, bahkan masih ada di pohon saja sudah ada yang memberi harga,” aku Sulaiman.Padahal, pemerintah sedang menggalakkan upaya agar para petani kakao menjual produksi kakao dalam bentuk fermentasi. Karena selain diminati industri pengolah cokelat, juga karena harga jualnya lebih tinggi ketimbang kakao segar (asalan).Menurut Sulaiman, harga kakao fermentasi sudah berada di level Rp 24.000 per kg. Sementara harga kakao asalan Rp 20.000 per kg. "Disparitas harganya cukup lebar," tukasnya. Sulaiman menegaskan, para petani butuh bantuan untuk fermentasi kakao. Ia menyarankan, sebaiknya pihak industri melakukan sinergi dengan petani. Selain itu, perlu banyak dibentuk gapoktan atau koperasi petani agar petani tidak repot menjual hasil fermentasinya. "Jangan semua beban biaya fermentasi ditanggung petani," ujarnya. Pemerintah sendiri dsudah mengalokasi dana untuk program koperasi dan pemeliharaan lahan sebesar Rp 300 juta. Saat ini baru ada enam koperasi yang terbentuk dari total 51 kabupaten sentra kakao yang ada. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menargetkan akan mendirikan satu koperasi di setiap satu kabupaten.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hama dan Penyakit Pangkas Produksi Kakao
JAKARTA. Jumlah fermentasi biji kakao masih minim dari kebutuhan industri pengolah kakao. Gara-garanya, tanaman kakao banyak yang terserang hama dan penyakit. Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Sulaiman Husain memaparkan, para petani kakao saat ini sedang menghadapi ganasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD). Penyakit dan hama ini menyerang tanaman kakao yang usianya sudah puluhan tahun. Serangan hama membuat biji kakao kempes dan lengket. Sehingga, produktivitas kakao petani turun dari rata-rata 879 kilogram (kg) per hektare (ha) menjadi sekitar 600 kg per ha. "Hanya 60% dari hasil produksi yang bisa difermentasi," ujar Sulaiman, Jumat (2/7). Selain karena hama dan penyakit, produksi kakao fermentasi juga rendah karena sebagian besar petani masih suka menjual kakao segar ketimbang kakao fermentasi. Alasannya, petani terhambat modal kerja. Pasalnya, fermentasi kakao butuh waktu seminggu. Sementara, para petani butuh dana untuk hidup sehari-hari serta untuk kebutuhan menyekolahkan anaknya. Tak heran jika para petani tergiur dengan penawaran sejumlah pedagang pengumpul yang jemput bola datang ke perkebunan mereka. Para pedagang pengumpul ini datang membawa kalkulator, timbangan dan uang tunai. Sehingga, petani tidak berfikir panjang untuk menjual hasil kebunnya. “Baru dijemur sehari, dua hari, sudah ada yang menawar, bahkan masih ada di pohon saja sudah ada yang memberi harga,” aku Sulaiman.Padahal, pemerintah sedang menggalakkan upaya agar para petani kakao menjual produksi kakao dalam bentuk fermentasi. Karena selain diminati industri pengolah cokelat, juga karena harga jualnya lebih tinggi ketimbang kakao segar (asalan).Menurut Sulaiman, harga kakao fermentasi sudah berada di level Rp 24.000 per kg. Sementara harga kakao asalan Rp 20.000 per kg. "Disparitas harganya cukup lebar," tukasnya. Sulaiman menegaskan, para petani butuh bantuan untuk fermentasi kakao. Ia menyarankan, sebaiknya pihak industri melakukan sinergi dengan petani. Selain itu, perlu banyak dibentuk gapoktan atau koperasi petani agar petani tidak repot menjual hasil fermentasinya. "Jangan semua beban biaya fermentasi ditanggung petani," ujarnya. Pemerintah sendiri dsudah mengalokasi dana untuk program koperasi dan pemeliharaan lahan sebesar Rp 300 juta. Saat ini baru ada enam koperasi yang terbentuk dari total 51 kabupaten sentra kakao yang ada. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menargetkan akan mendirikan satu koperasi di setiap satu kabupaten.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News