Hambatan Regulasi Dinilai Menghambat Pengembangan EBT di Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat energi terbarukan dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dan Chairman Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Surya Darma menilai pengembangan energi terbarukan di Indonesia tergolong lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. 

Asal tahu saja, Indonesia memiliki target bauran energi sebesar 23% hingga 2025 dan saat ini baru tercapai sekitar 12%-13%. Artinya masih ada setengah target lagi yang harus dicapai dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun lagi. Untuk mengejar target tersebut, menurut kajian dan perhitungan yang ada maka harus dipenuhi rata-rata sekitar 500 MW pertahun. 

Melihat kondisi pengembangan energi terbarukan yang lambat, Surya menilai target tersebut akan sulit sekali dipenuhi pada tahun 2025 kecuali ada upaya lain seperti penggantian bahan bakar PLTU dari batubara dengan biomasa dalam bentuk co-firing


Co-firing ini juga sekaligus menambah porsi energi terbarukan dan mengurangi batubara dalam waktu bersamaan. Dengan cara ini porsi energi dari sumber terbarukan akan meningkat dalam waktu yang sama,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (25/10). 

Baca Juga: Begini Potensi Sebaran Energi Terbarukan di Sejumlah Wilayah di Indonesia

Hanya saja, pemanfaatan biomassa harus mengalami tantangan berupa   ketersediaan stok bahan baku yang belum tentu dapat dipenuhi secara berkesinambungan. 

Jika menggunakan cara lain, Surya mengemukakan, bisa juga dengan pemasangan PLTS Atap secara masif. Pemasangan PLTS Atap dapat dilakukan dalam waktu yang sangat cepat selama semua kebutuhan material PLTS seperti solar panel, inverter dan lain-lain tersedia. 

Menurutnya, pemasangan PLTS Atap tidak membutuhkan lahan khusus yang memerlukan waktu pengadaan lahannya. PLTS Atap bisa langsung dipasang di Atap rumah yang sudah ada.

Namun pengembangan energi terbarukan di Indonesia belum semulus yang diharapkan. Surya mengakui selama ini regulasi tentang energi terbarukan tidak memberikan daya dorong. Regulasinya sering berubah sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha. 

Selain itu proses pengadaan energi terbarukan juga tidak memberikan daya tarik pola usaha. Bahkan selama ini regulasi yang ada tidak memiliki nilai bankability bagi perbankan yang seharusnya bisa mendukung pendanaan pada pengembangan energi terbarukan. 

“Bisa dikatakan bahwa regulasi yang ada masih jauh dari harapan bagi para pengembang energi terbarukan,” tegasnya. 

Apalagi dari sisi harga energi terbarukan, Surya menilai sama sekali tidak berpihak pada pengembangan energi terbarukan. Dia bilang tidak ada fair treatment kalau boleh dikata. Karena itulah sejak tahun 2017, para pemangku kepentingan terus mendorong pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap regulasi yang sudah ada seperti Peraturan Menteri  ESDM No 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Baca Juga: Pengembangan EBT Masih Lambat, Komisi VII DPR Minta Pemerintah Cari Terobosan

Adapun usulan agar pemerintah menerbitkan Perpres untuk mempercepat pemanfaatan energi terbarukan juga terus bergulir hingga akhirnya terbentuk Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. 

Surya menilai pengembangan energi baru dan terbarukan tidak bisa dihambat sekalipun Indonesia mengalami kondisi oversupply listrik di jaringan Jawa-Bali. Menurutnya, oversupply terjadi pada pembangkitan batubara yang masih terus dibangun sesuai komitmen proyek 35 GW. Seharusnya, hal ini bisa direnegosiasi karena kondisi ekonomi saat ini yang tidak sesuai dengan perkiraan saat dimunculkannya program 35 GW. 

“Apalagi kondisi saat ini yang dipengaruhi lebih banyak oleh pandemi Covid-19 sehingga dengan demikian proyek energi terbarukan dapat terus dilanjutkan  untuk memenuhi target NZE dan Perjanjian Paris,” tandas Surya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi