KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) menanti kesepakatan mengenai pembahasan substansi Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) atau sewa jaringan. Maklum, pembahasan sewa jaringan ini masih alot lantaran dikhawatirkan terjadi liberalisasi ketenagalistrikan dan berpotensi menaikkan tarif listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Komisi VII DPR RI telah membahas seluruh pasal yang berjumlah 63 pasal dengan 61 pasal telah disepakati dan 2 pasal masih belum disepakati dalam RUU EBET.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyampaikan proses pembahasan RUU EBET telah selesai, namun masih menyisakan 2 pasal yang belum mencapai kesepakatan terutama terkait PBJT atau sewa jaringan
Baca Juga: Pemerintah Tak Perlu Terburu-buru Lakukan Transisi Energi "Pemerintah sebagai tim perumus telah menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI, dan Komisi VII juga sudah paham dengan pasal tersebut, rapatnya masih ditunda. Nah ini kemarin kalau tidak selesai di sini berarti periode tahun depan, tetapi periode tahun depan mungkin bisa dipercepat juga karena Pak Menteri [ESDM Bahlil Lahadalia]
eager segera selesai,” ujar Eniya saat Temu Media di Jakarta, Senin (9/10). Mengacu pemaparan, BJT atau sewa jaringan termaktub dalam Pasal 29A dan Pasal 47A RUU EBET, di mana isi dari kedua pasal tersebut sama tetapi mengacu pada sektor yang berbeda. “Pasal 29A mengacu ke energi baru dan Pasal 47A mengacu energi terbarukan. Isinya sama,” ujarnya. Kedua pasal tersebut terdiri dari 4 ayat, yakni: Pertama, untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi baru/energi terbarukan, pemegang wilayah usaha ketenagalistrikan harus memenuhi kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru/energi terbarukan. Kedua, pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru/energi terbarukan wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan energi baru/energi terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan. Ketiga, dalam hal pemanfaatan bersama jaringan transmisi melalui mekanisme sewa jaringan dilaksanakan, usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka akses pemanfaatan bersama jaringan transmisi untuk kepentingan umum dengan memenuhi syarat tetap menjaga dan memperhatikan aspek kapasitas jaringan, keandalan sistem, kualitas pelayanan pelanggan, aspek keekonomian, keseimbangan pasokan kebutuhan tenaga listrik, dan kemampuan keuangan negara. Keempat, ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi baru/energi terbarukan melalui mekanisme sewa jaringan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Baca Juga: Menteri ESDM Diharapkan Jaga Tarif Listrik Supaya Terjangkau Masyarakat Eniya menegaskan, dengan adanya skema PBJT ini, swasta dapat menjadi penyedia listrik, sehingga harga listrik EBT menjadi lebih murah dan menampik kekhawatiran terhadap liberalisasi dalam skema PBJT atau sewa jaringan, di mana badan usaha bisa mengalirkan listrik secara langsung ke masyarakat hanya dengan menyewa transmisi milik PLN. “Tidak ada [liberalisasi], jadi ini sudah kita silang, kalau ada sumber yang mau menjual ke konsumen PLN tidak boleh, di wilayah usaha PLN tidak boleh, menjual di wilayah usaha lain langsung ke pelanggan tidak boleh,” terangnya. "Sehingga listrik yang sampai ke masyarakat adalah listrik murah, di sini subsidi Pemerintah turun, itu tujuan kita untuk memasukkan ke RUU EBET seperti ini. Kita memprioritaskan EBET yang murah ke depan," tambah Eniya. Lebih lanjut, RUU EBET ini nanti akan mengatur semua badan usaha yang mengusahakan kegiatan untuk menurunkan emisi mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon. "Salah satu keuntungan RUU EBET ini kalau telah disahkan semua badan usaha yang saat ini sudah pasang solar panel, sudah berkontribusi di biomassa, dan mengusahakan penurunan emisi mendapatkan insentif dari nilai ekonomi karbon. Ini kalau disahkan, nilai ekonomi karbon berjalan. Kalau UU ini tidak disahkan, tidak ada insentif. Insentif inilah yang paling utama di RUU EBET ini," tandasnya. Eniya menambahkan, hal lain yang juga mendesak pengesahan RUU EBET adalah untuk memuluskan jalan dalam penyediaan listrik untuk daerah yang masih kekurangan akses listrik. Terutama di daerah Indonesia Timur yang masih banyak menggunakan listrik dari diesel yang harganya jauh lebih tinggi dari kawasan Indonesia lainnya. Sebelumnya Kontan mencatat, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, skema
power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET dapat mengurangi peran PLN dan bahkan berpotensi meliberalisasi sektor kelistrikan nasional. "Dikhawatirkan akan berdampak pada harga listrik," kata Mulyanto dalam Webinar Menyoal Penerapan Skema Power Wheeling Dalam RUU EBET, Kamis (1/8).
Baca Juga: Bahlil Diharapkan Prioritaskan Kepentingan Nasional di Sektor Tenaga Listrik Berbeda, Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Eddy Soeparno mengatakan,
power wheeling ini diperlukan untuk mengakselerasi pengembangan sektor EBET. "Oleh karena itu, DPR akan tetap mencantumkan pasal tentang
Power Wheeling di dalam UU EBET," kata Eddi saat dihubungi Kontan beberapa waktu lalu. Sementara itu, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov menuturkan adanya skema
power wheeling sebagai pemanis dalam melancarkan investasi pembangkit EBT tidak memiliki urgensi sama sekali. "Tanpa adanya gula-gula pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik, pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030," ujar Abra. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bakhtiar menganggap bahwa skema
power wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET. Pasalnya, kata Bisman, adanya potensi kerugian negara dan penerapan skema ini juga hanya akan memicu kenaikan tarif listrik dan menambah beban subsidi APBN. Selain itu, penerapan skema
power wheeling dalam RUU EBET akan melemahkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan membuka pintu masuk bagi oligarki.
Baca Juga: Asosiasi Ungkap Sejumlah Pekerjaan Rumah yang Harus Diselesaikan Menteri ESDM Sebagai informasi tambahan, jenis usulan skema yang dapat dilakukan adalah: 1. PT B, sebagai pembangkit izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IUPSTLU) EBET, yang berada di wilayah usaha PLN menyalurkan listrik ke kawasan industri melalui wilayah usaha C dengan menyewa jaringan PLN. 2. PT D, sebagai Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Sendiri (IUPTLS) dan konsumen PLN, memiliki sendiri pembangkit EBET yang menyalurkan listrik ke beban PT D dengan menyewa jaringan PLN.
Sementara, skema yang tidak dapat dilakukan adalah: 1. PT B, pembangkit IUPLTU EBET, yang berada di wilayah usaha PLN menyalurkan listrik ke konsumen atau kawasan industri di wilayah usaha C secara langsung. 2. PT B, pembangkit IUPTLU EBET, yang berada di wilayah usaha PLN menyalurkan listrik ke konsumen PLN secara langsung dalam PJBL tersendiri. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .