Hantu bunga The Fed setelah 3 jilid QE tamat



JAKARTA. Federal Reserve akhirnya menutup program quantitative easing (QE) yang bersejarah. The Fed yakin, ekonomi Amerika Serikat (AS) sudah cukup kuat tanpa ditopang dengan stimulus.

Program yang diakhiri The Fed adalah QE jilid 3, dimulai sejak 13 September 2012. Lewat stimulus ini, The Fed membeli aset obligasi dengan nilai pembelian US$ 85 miliar per bulan. Sejak tahun ini, The Fed sudah mengurangi pembelian secara bertahap dan akhirnya kemarin (29/10) mengakhiri pembelian obligasi yang sudah menjadi US$ 15 miliar per bulan itu.

Karena dilakukan bertahap sejak akhir tahun lalu, penghentian stimulus ini bisa dibilang cukup smooth dan tidak mendorong kepanikan adanya capital outflow. 

Lihat saja, pasar saham global tidak bergejolak. Acuan bursa AS Standard & Poor’s 500 Index setelah pengumuman tersebut menguat 1,2%, dan Dow Jones Industrial Average ditutup dengan kenaikan 1,1%, lebih terpengaruh oleh positifnya laporan keuangan korporasi. Bursa negara berkembang, ditunjukkan MSCI Asia Pacific juga menguat 0,3% pada Kamis (30/10). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak tipis, melemah 0,3%.

David Sumual, Ekonom Bank Central Asia mengatakan, fluktuasi pasar saham tak tajam karena pasar sudah berekspektasi menghentikan QE, bahkan sejak akhir tahun 2013. Pasar juga lumayan anteng karena ada stimulus di Eropa oleh European Central Bank (ECB) dengan nilai perkiraan €700 juta - € 1 triliun, tak jauh berbeda dari QE AS tahun ini sekitar US$ 750 miliar. Stimulus menggambarkan ada pelemahan ekonomi di Eropa, bersamaan dengan ekonomi China yang masih melambat.

Kini pasar akan memperhatikan kapan The Fed akan menaikkan suku bunga pertamanya, dari posisi saat ini di 0 - 0,25%.

Analis Reliance Securities Lanjar Nafri menilai, kekhawatiran yang muncul di pasar adalah The Fed bakal keluar dari era bunga rendah lebih cepat dibanding perkiraan seiring dengan optimisme perbaikan ekonomi AS.

Sekadar informasi, ekonomi AS di kuartal III (Juli-September) melaju 3,5%, berbanding kuartal II sebesar 4,6%, dan 2,1% di kuartal pertama. Tingkat pengangguran juga merosot menjadi 5,9%, terendah sejak tahun 2008.

Kekhawatiran inilah yang mendorong mata uang keras diburu sehingga dollar AS kembali menguat terhadap mayoritas valuta dunia. Sentimen ini dan pelemahan rupiah juga turut menekan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sore tadi yang ditutup dengan koreksi 24,49 poin ke level 5.049,57.

Menurut David, ada tiga hal yang  akan menahan The Fed buru-buru menaikkan bunga. 

Pertama, penguatan dollar AS yang terlalu cepat. Kedua, inflasi AS masih rendah dan jauh dari target The Fed 2%, serta ketiga, perekonomian ekonomi global yang masuih lemah.  “Alhasil, AS harus mengerem langkah pengetatan moneter agresif karena ekonomi AS sekitar 25% dari dunia dan pelambatan ekonomi mitra dagang besarnya akan berpengaruh pada AS dan dunia,” kata David. 

Sentimen penting lain

Lanjar Nafri mengamini, kekhawatiran akan risiko Eropa jatuh ke lubang resesi dan pelambatan ekonomi China menjadi perhatian penting bagi investor.  “Ini menjadi tekanan bagi bursa global,” kata dia. Dia menyarankan memperhatikan data ekonomi penting yang akan dirilis negara-negara raksasa dalam pekan ini.

Analis BNI Securities Thendra Crisnanda mengikuti konsensus, berekspektasi kenaikan bunga The Fed terjadi pertengahan tahun depan. Sebelumnya, Aditya Srinath, Executive Director of Equity research di JP Morgan Securities Indonesia juga berekspektasi serupa, Fed rate baru naik di Juni 2015 menjadi 0,5% dan bulan September 0,75%.

Menurut Thendra, respon negatif yang mengekor sentimen QE plus kenaikan suku bunganya itu berbanding terbalik dengan respon di bursa domestik. “Khusunya untuk jangka panjang, bursa domestik akan bullish,” kata dia. 

Nah, tenaga bagi IHSG adalah sentimen positif atas komitmen pemerintahan baru untuk meningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sampai Rp 3.000 per liter. Menteri Keuangan baru Bambang Brodjonegoro menjanjikan, kenaikan harga BBM akan terjadi sebelum 1 Januari 2015. “Kepastian” atas peningkatan harga BBM tersebut menjawab keraguan pasar selama ini yang pada akhirnya memicu aksi beli agresif pada bursa domestik.

Kepala Riset Woori Korindo Securities Indonesia Reza Priyambada memiliki pendapat senada. Baik untuk pergerakan IHSG dan rupiah untuk saat ini justru banyak dipengaruhi oleh sentimen dalam negeri, yakni soal kenaikan harga BBM subsidi. Rupiah masih memiliki peluang penurunan lanjutan. 

"Tapi, setidaknya pelaku pasar sedikit merespon positif pernyataan Menkeu baru untuk menaikan BBM subsidi ditengah beredarnya sentimen QE, sehingga pergerakan rupiah tidak terlalu fluktuatif," pungkas Reza.

David mengatakan, fundamental rupiah tahun ini ada di level Rp 11.600 - Rp 11.700 per dollar AS. Jika sentimen negatif datang, menuju Rp 12.000. Namun, jika ada kepastian kenaikan harga BBM atau penundaan suku bunga The Fed, rupiah bisa kembali menguat ke level fundamentalnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia