KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai produsen minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, Indonesia mengalami kesenjangan signifikan pada pengetahuan petani sawit terhadap Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute For Development of Economics and Finance (Indef) kepada 500 petani yang masuk dalam rantai pasok ekspor terbesar ke Uni Eropa (UE), yakni Siak, Riau; Mesuji, Lampung; dan Ketapang, Kalimantan Barat, hanya 6% petani yang menyatakan pernah mendengar istilah EUDR. "Sebanyak 94% responden tidak pernah mendengar tentang Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan dan kesadaran di kalangan petani kecil," ungkap Ekonom senior Indef, Fadhil Hasan dalam diskusi publik yang dilaksanakan pada Rabu (23/10). Fadhil menambahkan, ketidaktahuan para petani ini akan menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi peraturan dan membuat keputusan yang tepat terkait praktik pertanian mereka. Baca Juga: Pengelola Dana Sawit, Kakao dan Kelapa Disatukan "Dengan hanya 6% responden yang mengetahui EUDR, ada kebutuhan mendesak untuk upaya edukasi dan penjangkauan yang terarah untuk memastikan petani kecil memahami peraturan, persyaratannya, dan potensi dampaknya terhadap penghidupan mereka," tambahnya. Adapun, saat ini Indonesia tengah mempersiapkan pemenuhan regulasi EUDR agar tetap bisa melakukan ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Uni Eropa. Salah satu yang harus dipenuhi oleh para petani sawit adalah tercapainya sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Dan perlu diketahui, sebelum memperoleh ISPO, para petani harus lebih dulu memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STDB) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) yang merupakan persyaratan administratif yang harus dilampirkan untuk mengajukan ISPO. "Masih sangat rendah, ini ditunjukkan dengan 94% (petani) tidak mengenal EUDR, dan 76% masih menjual melalui perantara, serta rendahnya kepemilikan dokumen teknis seperti SPPL dan STD-B," ungkap Faisal. Saat ini, dengan penundaan penerapan EUDR, Indonesia memiliki waktu tambahan selama satu tahun untuk memperbaiki standar perkebunan sawit sebelum kehilangan akses ke pasar Eropa. Adapun, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), persentase ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Eropa adalah sebesar 10% dari total ekspor tahunan. Jika Indonesia gagal memenuhi kriteria ekspor yang harus dipenuhi EUDR, maka Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun. Baca Juga: Penuhi Aturan EUDR, Tata Kelola Sawit Diperbaiki
Hanya 6% Petani Sawit RI yang Akui Pernah Dengar UU Antideforestasi Eropa
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai produsen minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, Indonesia mengalami kesenjangan signifikan pada pengetahuan petani sawit terhadap Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Institute For Development of Economics and Finance (Indef) kepada 500 petani yang masuk dalam rantai pasok ekspor terbesar ke Uni Eropa (UE), yakni Siak, Riau; Mesuji, Lampung; dan Ketapang, Kalimantan Barat, hanya 6% petani yang menyatakan pernah mendengar istilah EUDR. "Sebanyak 94% responden tidak pernah mendengar tentang Peraturan Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan dan kesadaran di kalangan petani kecil," ungkap Ekonom senior Indef, Fadhil Hasan dalam diskusi publik yang dilaksanakan pada Rabu (23/10). Fadhil menambahkan, ketidaktahuan para petani ini akan menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi peraturan dan membuat keputusan yang tepat terkait praktik pertanian mereka. Baca Juga: Pengelola Dana Sawit, Kakao dan Kelapa Disatukan "Dengan hanya 6% responden yang mengetahui EUDR, ada kebutuhan mendesak untuk upaya edukasi dan penjangkauan yang terarah untuk memastikan petani kecil memahami peraturan, persyaratannya, dan potensi dampaknya terhadap penghidupan mereka," tambahnya. Adapun, saat ini Indonesia tengah mempersiapkan pemenuhan regulasi EUDR agar tetap bisa melakukan ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Uni Eropa. Salah satu yang harus dipenuhi oleh para petani sawit adalah tercapainya sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Dan perlu diketahui, sebelum memperoleh ISPO, para petani harus lebih dulu memiliki Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan (STDB) dan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) yang merupakan persyaratan administratif yang harus dilampirkan untuk mengajukan ISPO. "Masih sangat rendah, ini ditunjukkan dengan 94% (petani) tidak mengenal EUDR, dan 76% masih menjual melalui perantara, serta rendahnya kepemilikan dokumen teknis seperti SPPL dan STD-B," ungkap Faisal. Saat ini, dengan penundaan penerapan EUDR, Indonesia memiliki waktu tambahan selama satu tahun untuk memperbaiki standar perkebunan sawit sebelum kehilangan akses ke pasar Eropa. Adapun, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (Kementan), persentase ekspor minyak sawit dan turunannya ke pasar Eropa adalah sebesar 10% dari total ekspor tahunan. Jika Indonesia gagal memenuhi kriteria ekspor yang harus dipenuhi EUDR, maka Indonesia akan kehilangan Rp 30-50 triliun per tahun. Baca Juga: Penuhi Aturan EUDR, Tata Kelola Sawit Diperbaiki