Hapz bukan sekadar jualan tiket



KONTAN.CO.ID - Salah satu tantangan utama dalam bisnis penyelenggara acara alias event organizer (EO) adalah: bagaimana menjangkau pelanggan, pengunjung, atau penonton yang tepat. Begitu yang Kendrick Wong temukan ketika bekerja di industri itu.

Di satu sisi, pendiri perusahaan rintisan atawa startup Hapz ini menyadari, bahwa mengorganisir sebuah acara layaknya menyiapkan bisnis baru setiap enam bulan sekali. Di sisi lain, ia menemukan calon penonton yang sering berjuang dengan keras untuk sekadar menemukan informasi soal acara atau pertunjukan yang mereka inginkan.

“Seringkali mereka melewatkan acara-acara yang bagus karena tidak melihat iklan tepat waktu atau harga tiketnya terlalu mahal,” kata Wong yang menjabat Chief Executive Officer (CEO) Hapz,


Untuk menjawab tantangan itu yang berangkat dari pengalamannya bekerja di industri EO, Wong lalu menggagas perusahaan rintisan atawa startup yang menyediakan platform tawar-menawar (bidding) tiket secara online. Awalnya aplikasi asal Singapura tersebut mengusung nama GOtixs, tapi sekarang berkibar dengan bendera Hapz.

Wong bersama pendiri Hapz lainnya mengembangkan aplikasi itu dengan tujuan menjembatani celah antara penyelenggara acara dan orang-orang yang tertarik hadir dalam event tersebut.

Maka, aplikasi yang resmi meluncur Mei 2017 lalu ini mengumpulkan berbagai acara seni dan hiburan yang digelar di Singapura, termasuk konser, festival, pertandingan olahraga, dan tempat wisata. Kemudian, sebagai kurator Hapz memilih acara sesuai dengan kesukaan penggunanya.

Dengan membeli tiket lewat Hapz, pengguna bisa melakukan penghematan yang signifikan dibanding membeli karcis masuk di tempat lain. Sebab, platform ini memungkinkan pengguna untuk mengajukan penawaran dengan harga tiket yang mereka inginkan.

Ini mirip dengan surge pricing model yang digunakan perusahaan penyedia transportasi berbasis aplikasi seperti Uber. Hapz menggandeng penyelenggara acara untuk menetapkan kisaran harga yang dinamis berdasarkan beberapa faktor.

Misalnya, permintaan pembeli, tiket yang tersedia, waktu hingga acara, dan harga yang ditawarkan pesaing. Rentang harga tiket ini bisa berubah seiring berjalannya waktu dengan mengacu faktor-faktor tersebut.

Jadi, jika penawaran calon pembeli berada dalam kisaran harga yang ditetapkan, maka transaksi bakal sukses. Kalau tidak, pengguna dapat kesempatan untuk membeli dengan harga terdekat yang tersedia dari penawaran mereka. “Kami mengambil fee dari setiap tiket yang terjual melalui platform kami,” ujar Lai Xin Chu, Pendiri sekaligus Chief Technology Officer (CTO) Hapz.

Saat ini, Hapz mengklaim, sudah ada lebih dari 8.500 pengguna yang terdaftar di aplikasi mereka. Dan, tiket yang terjual melalui Hapz total mencapai US$ 365.000.

Strategi pemasaran

Untuk mengembangkan aplikasinya, Selasa (1/8) lalu Hapz mendapatkan pendanaan senilai US$ 501.200 dari sejumlah investor. Yakni, Cocoon Capital, Quest Ventures, TinkBig Venture, dan SPH Media Fund, serta seorang investor malaikat (angel investor) yang tak diungkap namanya.

Hapz memang butuh banyak suntikan dana untuk mengembangkan platformnya. Soalnya, persaingan di bisnis tiket online di kawasan Asia Tenggara terbilang sengit.

Mereka tak hanya mesti berhadapan dengan pemain yang sudah mapan, seperti Songkick dan Ticketbox, juga start-up yang berharap bisa mencaplok kue di bisnis tiket online. Sebut saja, Event Pop dari Thailand dan Loket asal Indonesia.

Tapi, Wong bilang, Hapz punya keunggulan berdasarkan model bisnis, yang berusaha menyelaraskan platformnya dengan kepentingan para penonton dan penyelenggara acara.

Bukan cuma itu, Hapz juga memiliki strategi dan saluran pemasaran khusus untuk menarik pelanggan datang ke sebuah acara dan membeli tiket lewat platformnya. Sementara pesaing mereka tetap menyerahkan tanggungjawab untuk mencapai hal ini kepada penyelenggara acara.

Lebih dari itu, Wong menambahkan, Hapz menyediakan data tentang tren harga, demografi, preferensi pengguna, dan kinerja pesaing. Data-data ini bisa membantu penyelenggara acara untuk mengejar lebih banyak penonton yang jadi target pemasaran mereka.

“Data-data itu juga menarik pihak lain di luar industri EO untuk bekerjasama dengan kami,” ungkap Wong. Contoh, mereka berkongsi dengan General Electric, yang menggunakan platform Hapz sebagai bagian dari skema manfaat perusahaan untuk karyawan mereka di Singapura.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan