KONTAN.CO.ID - MALANG. Matahari belum terbit. Namun Mulyono dan istrinya Santi Dwi Lestari, sudah berjibaku di kandang sapi sejak pukul setengah lima pagi. Santi mondar-mandir mengangkut rumput-rumput yang telah dicacah ke depan barisan sapi. Setelah itu, dia bergegas memasang mesin pemerah susu sapi. "Sapi-sapi ini memang harus diberi makan tiga kali sehari, kandang juga harus dibersihkan secara rutin," ujar Mulyono. Aktivitas memberi makan sambil dan memerah susu ini rutin mereka lakukan saban pagi dan sore.
Mulyono adalah salah satu peternak sapi perah yang ada di Desa Wonoagung, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dia kini tengah berupaya bangkit setelah hampir separuh sapinya mati akibat penyebaran virus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang melanda Indonesia pertengahan tahun lalu. Warga Desa Wonoagung memiliki mata pencaharian dari bertani dan berternak. Namun, akibat PMK, jumlah sapi yang ada di Wonoagung turun drastis dari sekitar 2.400 ekor sebelum PMK saat ini tinggal 1.900 ekor.
Baca Juga: Mimpi Besar Desa Wonoagung Di Balik Kemilau Jeruk-Jeruk Ranum Mulyono tak luput dari pagebluk itu. Bila sebelum PMK sapi yang pelihara masih sebanyak 45 ekor, saat ini sapi miliknya berkurang hampir setengah atau tinggal 25 ekor saja. Produksi susu pun turun drastis. Kalau semula bisa mencapai 400 liter per hari, kini paling banyak hanya berkisar 200 liter saja. Sapi yang tidak bisa bertahan karena pandemi terpaksa harus "dijual paksa" dengan harga murah. "Jual paksa itu harganya murah, hanya Rp 2,5 juta - Rp 3 juta per ekor, padahal normalnya lebih dari Rp 20 juta,” katanya. Sapi yang tidak menghasilkan susu pada saat terjadi PMK memicu Mulyono untuk memutar modal. Caranya, dia terpaksa menjual sapi-sapi dewasa yang kemungkinan tidak bisa bertahan hidup. Agar usahanya tetap bertahan, Mulyono lalu membeli pedet (anak sapi) dan sapi dara. Dia menghitung, harga sapi jatuh saat wabah PMK sehingga harga sapi dara yang biasanya sekitar Rp 20 juta bisa turun harga hingga sekitar Rp 13 juta. "Saya percaya sapi itu cepat sembuh. Jadi waktu itu belinya murah, setelah PMK sembuh, saya jual Rp 11 juta. Itu untuk menutupi produksi yang sebelumnya," terang Mulyono.
Meski wabah PMK sudah berkurang, dampaknya masih terasa hingga kini. Dampak yang dirasakan adalah sapi yang sulit untuk bunting, hingga produksi susu juga turun. Saat ini, produksi susu sapi Mulyono hanya sekitar 200 liter per hari. Ini dengan jumlah sapi yang berkurang dan tak semua sapi bisa diperah susunya. Sebelum PMK, produksi susu dari sapi-sapi Mulyono bisa mencapai sekitar 380 liter hingga 400 liter per hari. Saat ini Mulyono dan para peternak sapi di Desa Wonoagung sudah mulai bangkit meski masih tertatih-tatih. Meski sudah bisa berproduksi susu, peternak sapi perah banyak yang belum menerima hasil. Sebab, mereka masih memiliki utang ke Koperasi Unit Desa (KUD). Alhasil, hasil penjualan susu ke KUD habis untuk menutup utang yang meningkat saat wabah PMK. Peternak sapi perah di Desa Wonoagung biasanya menyetor produksi susu ke KUD. KUD nantinya akan menjual susu tersebut ke pabrik susu, salah satunya Nestle. Harga susu di tingkat peternak rata-rata sekitar Rp 7.200 per liter - Rp 7.800 per liter.
Mulyono mengaku bisa bertahan dan tak punya utang dengan strategi jual-beli sapi saat wabah PMK. Meski begitu, dia perlu modal untuk mengembalikan tingkat produksi susu hingga mencapai 400 liter per hari. Untuk memulihkan produksi itu, Mulyono pun berencana menambah sekitar 9-10 ekor sapi indukan. Saat ini Mulyono tengah mengajukan pinjaman sebesar Rp 200 juta ke perbankan lewat Koperasi. "Kalau dikasih, pinjaman itu akan kami belikan indukan agar setiap harinya itu bisa 400 liter lebih," kata Mulyono. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar