KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo kembali memberikan pesan soal kriteria sosok pemimpin ideal untuk memimpin Indonesia pengganti dirinya. Salah satunya, sosok yang memiliki nyali tinggi dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa. "Karena memang sekali lagi ke depan dibutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian, dibutuhkan pemimpin yang bernyali, memiliki nyali yang tinggi, dibutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko," ujar Jokowi saat memberikan pidato pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Solidaritas Ulama Muda Jokowi yang digelar di Istora Senayan, Jakarta, Sabtu (7/10/2023).
"Karena yang dihadapi ke depan akan makin kompleks. Makin sulit, dan makin tidak mudah," tegasnya. Jokowi lantas menjelaskan contoh situasi tantangan yang dihadapi Presiden Indonesia yakni ketika memutuskan ingin mengelola nikel secara hilirisasi di dalam negeri.
Baca Juga: Apa Kata Istana Soal Rencana Reshuffle Kabinet? Keinginan itu digugat oleh Uni Eropa. Jika Presiden mendatang takut dan mundur, maka ekspor Indonesia hanya akan berupa bahan mentah saja. Padahal, hasil tambang yang dimiliki Indonesia bukan hanya nikel. "Kita punya nikel, punya tembaga, punya bauksit, punya timah dan lain-lainnya banyak yang lain yang sudah lebih dari 400 tahun sejak VOC kita ekspor selalu mentahan sehingga nilai tambah tidak ada, nilai ekonomi rendah," ungkap Jokowi. "Kita baru stop (ekspor) nikel (tahun) 2020 saja kita digugat oleh Uni Eropa dibawa ke WTO digugat, banyak menteri bertanya ke saya, 'Pak ini kita digugat' ya saya bilang digugat ya dihadapi. Carikan pengacara yang baik, kita hadapi, jangan digugat negara besar kita mundur, enggak jadi lagi barang ini nanti. Benar tidak?" tegasnya. Lebih lanjut, Kepala Negara menjelaskan, banyak pihak kemudian bertanya apakah yang akan diperoleh rakyat dari hilirisasi nikel. Sebab yang mengelola hilirisasi itu adalah perusahaan besar. Jokowi pun mengungkapkan ada nilai tambah dari ekspor barang hasil hilirisasi. "Banyak yang bertanya, ini yang mengelola nikel kan perusahaan besar benar kan? Terus rakyat dapat darimana. Perlu saya jelaskan saat kita ekspor bahan mentah itu pertahun nilainya kira-kira Rp 17 triliun, setelah diolah menjadi barang jadi, besi baja, dan lainnya, stainless steel nilainya menjadi Rp 510 triliun," jelas Jokowi. "Ada yang bertanya ke saya, Pak tapi itu yang dapat kan perusahaan. Ingat! Kita dapat Rp 17 triliun, itu kan dipungut pajak mereka, pajak perusahaan, pajak karyawan, pajak PPN, bea eksport, PNBP, pungut semua ini. Negara dapat lebih banyak mana? Rp 17 triliun atau Rp 510 triliun?" lanjutnya.
Baca Juga: Jokowi Bandingkan Harga Beras di Indonesia dengan Brunei hingga Singapura Jika melakukan ekspor barang hasil hilirisasi, kata Jokowi, maka ada banyak pungutan pajak yang masuk ke kas negara. Selain itu, negara pun mendapat hasil dari royalti dan dividen.
"Terus dikumpulin masuk APBN itu yang dipakai untuk bantuan sosial, bantuan pangan beras, dana desa, dari situ. Supaya kita tahu semua dan kalau nanti bisa diolah di negara kita, kita dapat kesempatan kerja, rakyat kita akan mendapatkan kesempatan kerja yang luas," papar Jokowi. "Karena satu smelter, pabrik smelter yang bekerja di sana itu 70.000 itu satu, kalau ada 10 (smelter) ada 700.000. Kalau 100 tinggal dikali 7 juta pekerja bisa bekerja di situ. Jadi membuka lapangan kerja dan cara berpikir ini yang harus dipahami," tambahnya. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Jokowi: Dibutuhkan Pemimpin yang Bernyali Tinggi, yang Berani Ambil Risiko..." Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .