JAKARTA. Pekan lalu, Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) gagal menjual kayu jatinya melalui lelang online lewat iPasar. Pasalnya, kayu-kayu milik Perum Perhutani tidak mengantongi sertifikat internasional dari Dewan Kelestarian Hutan atau Forest Stewardship Council (FSC). Sertifikat tersebut menandakan bahwa cara menghasilkan kayu tersebut tidak menyebabkan kerusakan hutan. Alhasil, perusahaan-perusahaan mebel yang memiliki orientasi ekspor tidak membeli kayu Perum Perhutani tersebut. "Sejumlah perusahaan memilih mengimpor kayu jati dari Costarica, Burma, Thailand, yang harganya tiga kalilipat dari harga kayu jati milik perhutani namun kualitasnya jauh di bawahnya," kata Direktur Perdagangan iPasar FX Judamanto, Senin kemarin (22/3). Menurut catatan Judamanto, setidaknya tiga perusahaan melakukan impor kayu jati dari negara-negara tersebut dengan volume impor masing-masing perusahaan mencapai 1.000 meter kubik. Dengan hitungan harga jual kayu jati Perhutani Rp 3,8 juta per m3, larinya konsumen kayu jati ke negara tetangga, mengakibatkan Perhutani gagal mendapatkan penjualan Rp 11 miliar dari mereka. Kepala Bagian Pemasaran Kayu Bundar Perum Perhutani Sudaryana mengakui, kayu-kayu milik Perhutani belum memiliki sertifikat internasional dari FSC. "Itu sedang kita proses saat ini, sudah pada tahap assesment, targetnya tahun ini selesai dan kita bisa mendapatkan sertifikatnya," tandas Sudaryana.
Harapan Kelewat Tinggi, Kayu Tak Laku
JAKARTA. Pekan lalu, Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) gagal menjual kayu jatinya melalui lelang online lewat iPasar. Pasalnya, kayu-kayu milik Perum Perhutani tidak mengantongi sertifikat internasional dari Dewan Kelestarian Hutan atau Forest Stewardship Council (FSC). Sertifikat tersebut menandakan bahwa cara menghasilkan kayu tersebut tidak menyebabkan kerusakan hutan. Alhasil, perusahaan-perusahaan mebel yang memiliki orientasi ekspor tidak membeli kayu Perum Perhutani tersebut. "Sejumlah perusahaan memilih mengimpor kayu jati dari Costarica, Burma, Thailand, yang harganya tiga kalilipat dari harga kayu jati milik perhutani namun kualitasnya jauh di bawahnya," kata Direktur Perdagangan iPasar FX Judamanto, Senin kemarin (22/3). Menurut catatan Judamanto, setidaknya tiga perusahaan melakukan impor kayu jati dari negara-negara tersebut dengan volume impor masing-masing perusahaan mencapai 1.000 meter kubik. Dengan hitungan harga jual kayu jati Perhutani Rp 3,8 juta per m3, larinya konsumen kayu jati ke negara tetangga, mengakibatkan Perhutani gagal mendapatkan penjualan Rp 11 miliar dari mereka. Kepala Bagian Pemasaran Kayu Bundar Perum Perhutani Sudaryana mengakui, kayu-kayu milik Perhutani belum memiliki sertifikat internasional dari FSC. "Itu sedang kita proses saat ini, sudah pada tahap assesment, targetnya tahun ini selesai dan kita bisa mendapatkan sertifikatnya," tandas Sudaryana.