Renungan penting merayakan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) adalah tentang penghargaan masyarakat terhadap profesi guru dan dosen. Sinyalemen penurunan penghormatan terhadap guru dan dosen dalam lingkup kehidupan sosial saat sekarang ini terasa kian menyusut. Bahkan, aksi kriminalitas pun kerap ditujukan kepada profesi pendidik ini. Beberapa tahun lalu, dosen senior Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Suwantji Sisworaharjo, ditemukan meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan. Pembunuhnya justru keponakannya sendiri. Aksi kekerasan dan pembunuhan terhadap dosen tidak sekali ini saja terjadi. Tahun 2007, Thomas Sumarno, dosen senior Universitas Airlangga juga mengalami hal serupa. Kejadian tersebut mengingatkan kepada Socrates, filsuf Yunani yang mempunyai pengalaman buruk dengan kematian. Bahkan, kematiannya dikatakan sebagai kematian yang demokratis. Dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati oleh mayoritas 60 suara (280 melawan 220) dalam pengadilan rakyat di Athena.
Kematian sosok filsuf itu membuat kita berkesimpulan bahwa dalam demokrasi klasik, fakta demokratisasi belum benar terbukti. Mungkin yang lebih benar adalah apa yang dikatakan oleh murid dan sahabat Socrates, yaitu Plato, bahwa semua negara diperintah secara buruk. Penindasan dan pembunuhan terhadap petani, nelayan, buruh, filsuf, pedagang, sastrawan, rohaniwan, seniman, dan pendidik, adalah kejahatan terhadap eksistensi kehidupan sebuah bangsa. Bahkan mungkin dapat disetarakan dengan kejahatan hak asasi manusia atas pembunuhan ratusan nyawa. Sebab, melalui tangan, hati dan pemikiran mereka seharusnya eksistensi ratusan jiwa yang terangkum dalam sebuah bangsa dapat terawat dan terselamatkan. Plato dalam karyanya Politeia menyatakan bahwa para pendidik adalah pilar kedua dalam sebuah tatanan negara yang demokratis yang disebut sebagai para penjaga. Idealnya, profesi ini tidak hanya memikirkan kepentingannya dan seluruhnya harus mengabdi pada kepentingan umum. Maka, mereka perlu dikondisikan agar diantara mereka tidak berkembang berbagai kepentingan pribadi. Golongan para penjaga ini merupakan penyedia stok kader-kader calon pemimpin negara (golongan ketiga). Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations mendefinisikan pekerjaan-pekerjaan itu sebagai pekerjaan produktif, yang oleh karena profesinya memberikan bantuan secara langsung kepada sesamanya. Guru, dan demikian halnya dosen, diletakkan dalam profesi pekerjaan yang lebih produktif ketimbang politisi, demikian pendapat Smith. Dalam wajah-wajah mereka (para guru dan dosen senior) terpancar keindahan lantaran kerut dan guratannya tajam mencetak jejak apa saja yang telah membentuk kemungkinan hidup: kegembiraan, penderitaan, harapan, kekecewaan, kesepian, pertarungan, kekalahan, kemenangan. Dan di atas segalanya: kematangan (B. Herry-Priyono, 2010). Potret kematian dosen karena korban pembunuhan adalah potret bangsa kita. Karena pembentukan Indonesia sebagai bangsa adalah suatu gerakan, dan guru serta dosen adalah pelaku utama yang memegang peran penting. Maka kematian seorang guru serta dosen karena pembunuhan bukanlah hal yang biasa. Mereka yang seharusnya sedang berada di tengah-tengah anak bangsa membentuk daya cipta dari kata, data, nalar, dan keluhuran yang saat ini sedang diremuk oleh amuk kekerasan, keganasan uang dan tualang para preman, justru dicabut dari hak kehidupannya yang mulia. Martabat dan eksistensi pendidik terasa tidak sesakral profesi pejabat pemerintahan, wakil rakyat, atau mungkin konglomerat. Bu Wantji dan Pak Marno bukanlah public figure yang kerap membuat sensasi atau aktor perubahan politik yang kerap menjadi sumber berita. Beliau sosok guru (dosen) yang dikenal sederhana dan dari hari ke hari bergulat dengan pemanusiaan manusia Indonesia lewat pendidikan. Relasi guru murid Kesan rendah terhadap harga sebuah nyawa, semakin menampakkan kemunduran peradaban kita. Meskipun di mata kejahatan dan kriminalitas, tidak pandang bulu apakah dia guru atau dosen, pemuka agama, teladan masyarakat, anak-anak, atau kaum ibu yang mencintai keluarganya. Namun dalam nada yang sama, fakta tersebut semakin memperkuat model dan praktik kekerasan yang hinggap dan mengakar kuat di masyarakat kita. Dalam konteks pendidikan kita, relasi guru-murid adalah relasi intimitas. Potensi kebaikan dan saling pendewasaan diri, ada di dalamnya. Tetapi tak lupa, potensi kekerasan juga ada di dalamnya. Ketika guru dan dosen tidak lagi meyakini dan menyadari bahwa profesinya berkait erat dengan tugas peradaban, dan ketika murid dan mahasiswa tidak memaklumkan proses pendewasaan ilmu, karakter dan imannya dengan fasilitator seorang guru, niscaya relasi guru-murid menjadi sesuatu yang suram. Bukti itu semakin mendekati kenyataan, ketika banyak berita tentang kemarahan seorang murid kepada gurunya yang dilatarbelakangi oleh rasa dendam. Juga, berita kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada muridnya.
Dalam konteks kematian beliau, mau tidak mau menyangkut eksistensi dunia pendidikan dan masa depan bangsa ini, serta mencerminkan bagaimana sikap (perlakuan) masyarakat terhadapnya. Bagaimana mungkin seorang guru atau dosen yang amat dihormati dan dikagumi oleh muridnya ditemukan mati secara mengenaskan karena pembunuhan? Bahkan, kekerasan itu tidak datang dari sumber yang jauh, tetapi kerap kali dari kalangan orang-orang dekat. Agresi dalam konteks rumah tangga serta isu-isu tertutup lain, seperti penganiayaan anak, penganiayaan pasangan, dan penganiayaan orang lanjut usia, dapat menimbulkan trauma karena melibatkan rusaknya kepercayaan terhadap orang yang paling dicintai dan menjadi tempat bergantung korbannya. Sejatinya, peringatan Hardiknas boleh dimaknai sebagai perayaan ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugerah ilahi-Nya yang turun lewat hidup dan karya para guru serta dosen di sekitar kita. Selamat Hari Pendidikan Nasional 2018. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi